Pendahuluan
Ketika mengikuti seminar bertajuk pewartaan
Kabar Baik di tengah masyarakat majemuk, yang dilaksanakan oleh GKPI wilayah
Jabodetabek pada tanggal 15 Mei 2014 yang lalu, ada dua pernyataan yang menarik
perhatian saya. Pertama, pernyataan Pdt. Dr. Martin Lukito Sinaga, salah
seorang pembicara, demikian: "Misi gereja dalam masyarakat majemuk tidak
dapat terlepas dari budaya masyarakat yang menjadi warga gereja. Misalnya,
falsafah Dalihan na Tolu dalam budaya
Batak dapat menjadi penolong dalam pengembangan gerak misi gereja yang
berlatarbelakang suku Batak". Kedua, pernyataan sekaligus pertanyaan Pdt.
P. Sipahutar, MTh (bishop GKPI), demikian: "Di tengah masyarakat majemuk saat ini,
dalam menjalankan misi, penting tidak hanya bertanya "siapa sesama
kami" tetapi lebih jauh lagi kita harus bertanya bagaimana menjadi sesama
bagi orang lain?" Bagi penulis, kedua pernyataan tersebut cukup menarik
untuk ditindaklanjuti. Hal itulah yang mendorong penulis menuangkan
ketertarikan tersebut dalam tulisan ini. Dalam tulisan ini, penulis
mencoba melihat dan
menunjukkan bahwa filosopi Dalihan Na
Tolu yaitu keadilan, keseimbangan, serta saling menghormati dan saling
menolong dapat menjadi salah satu basis
bagi GKPI untuk merekonstruksi sikap dan teologi misi yang inklusif di tengah
konteks masyarakat yang majemuk sekaligus
mencoba menjawab secara sederhana pertanyaan Bishop di atas. Secara sederhana,
tulisan ini diharapkan dapat memberi sumbangan kecil bagi pengembangan
gerak misi GKPI yang kontektsual di tengah masyarakat majemuk di usianya yang ke-50 ini.
Tulisan ini terdiri dari 3 bagian yakni (1) pembahasan
tentang Dalihan Natolu; (2) kontruksi
teologi dan sikap misi GKPI dalam masyarakat majemuk. Hal ini akan dilakukan dengan
mendialogkan nilai-nilai filosofi Dalihan
Natolu dengan dokumen LWF misi dalam konteks serta pandangan teologis
Robert J. Scheiter tentang pemgembangan masyarakat majemuk; (3) Penutup atau
kesimpulan.
Filosofi
Dalihan Natolu
Kehidupan
masyarakat Batak Toba sangat dipengaruhi oleh Adat[1].
Dalam budaya Batak, adat merupakan tatanan kosmik dengan segala norma
sosio-religius yang melekat padanya dan penurunannya diyakini secara mistis
(Sinaga 1981, 89-90). Salah satu dimensinya adalah Dalihan Na Tolu (arti harfiah: Tungku nan Tiga) yakni sebuah konsep
budaya, suatu totalitas dari tiga unsur (kedudukan) fungsional: (1) Hula-hula (pihak pemberi perempuan); (2)
Dongan tubu (pihak semarga), dan (3) Boru (pihak penerima perempuan). Ketiga
kedudukan fungsional ini diartikan sebagai tiga tungku sejajar, sama besarnya,
sama tingginya, dan sama peranannya dalam menopang tatanan kehidupan
kekerabatan. Ketiganya
tidak bersifat permanen dan statis melainkan dinamis dan aktif. Posisi dan
peran fungsional itu mengalir dan akan saling bergantian, sesuai dengan posisi
masing-masing terhadap marga tuan
rumah (penyelenggara kegiatan). Itu berarti posisi sebagai hula-hula, boru, dan dongan tubu tidak
tetap dipangku oleh sekelompok atau satu orang (tidak ada monopoli dan
totalitarian). Setiap pribadi dalam kesempatan tertentu bisa berkedudukan
sebagai hula-hula tapi dikesempatan
lain sebagai boru atau dongan tubu. Ketiga kedudukan fungsional
itu dimiliki oleh setiap pribadi di tempat dan acara yang berbeda. Di sinilah prinsip
keseimbangan dan keadilan distribusi kekuasaan dalam falsafah Dalihan Na Tolu muncul (Tobing,
1963:84-92).
Sistem
kekerabatan Dalihan Na Tolu
mengandung kaidah moral berisi ajaran saling menghormati (marsipasangapan), saling menghargai (masiargaan), dan saling menolong (marsiurupan). Dalihan Na Tolu dengan kata lain dapat disebut sebagai nilai
moralitas adat budaya Batak yang timbul dan berkembang dalam pergaulan hidup
warga Batak dengan berpatokan pada ikatan kekerabatan marga di manapun dan kapanpun
dia berada (Aritonang 2005, 140-143). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu adalah kaidah yang perlu
dihayati dan dilakukan dalam rangka menjawab - dalam kadar tertentu -
pertanyaan "bagaimana menjadi sesama" dalam sebuah komunitas. Secara
struktural konsep Dalihan Na Tolu
mencerminkan konsep serba tiga (trialog/dialog rangkap tiga) yakni adanya tiga
dunia, tiga penguasa, tiga eksistensi manusia, tiga eksistensi masyarakat, tiga
cita-cita. Setiap unsur dalam konsep ini harus dilihat sebagai suatu totalitas,
satu keseluruhan utuh[2]
(Siagian 2009, 103-106). Sebagai sebuah sistem budaya, Dalihan Na Tolu mempunyai persyaratan fungsional yang bertujuan
demi tercapainya keseimbangan dan harmoni serta bermanfaat untuk mempertahankan
keutuhan sistem budaya sekaligus sistem religius. Gagasan keseimbangan tersebut
terwujud dalam tiga sikap batin atau sikap moral-etis (Aritonang 2005, 143;
Siagian 2009, 100-101):
1. Manat mardongan tubu
yaitu sikap hati-hati terhadap sesama/satu marga untuk mencegah salah paham
dalam pelaksanaan adat dan kehidupan sehari-hari.
2. Elek marboru
yakni sikap sayang, lemah lembut terhadap pihak “boru” agar dengan cara itu mereka mampu secara iklas mendukung
pelaksanaan acara adat. Peran boru dalam
adat adalah bekerja melayani hula-hula.
Tanpa mereka, maka pesta adat tidak akan terselenggara sebab merekalah yang
mempersiapkan perlengkapan serta menangani pekerjaan dalam pesta.
3. Somba marhula-hula,
yaitu sikap hormat pada pihak hula-hula
agar mereka selalu mau dan mampu memberikan bantuan moril dan doa berkat dalam
pelaksanaan acara adat.
Sikap batin ini
harus kelihatan dalam perilaku dan komunikasi. Dalam acara adat, komunikasi
yang dialogis antar ketiga pihak ini selalu diawali dengan kata sapaan “raja”: rajani ni Boru, raja ni Dongan tubu, dan raja ni Hula-hula I,serta raja ni Dongan Sahuta. Sebutan
tersebut adalah sapaan sopan sebagai tanda hormat sebab semua orang dalam adat
Batak adalah raja. Ini bukan status pribadi melainkan sebuah status sosial
semua orang Batak sesuai dengan nilai-nilai moral-etis dan sopan-santun adat.
Inilah landasan normatif yang merupakan paradigma equilibrium (keseimbangan) yang menjamin kelangsungan harmoni dalam
konsep budaya Dalihan Na Tolu
(Siagian 2009, 102).
Pengambilan
keputusan biasanya dilakukan dalam bentuk dialog (musyawarah) yang terbuka
serta demokratis dengan ketiga unsur fungsional
yang ada. Hal ini menunjukkan kesejajaran kedudukan, semua dianggap raja yang
memiliki martabat yang sama. Oleh karena itu tidak dimungkinkan merasa superior
atau inferior antar pihak,
baik dalam hak, kewajiban,
dan berpendapat. Status ekonomi dan posisi di negara/lembaga tidak menentukan
dalam adat. Gubernur, Bupati sama-sama raja dengan orang miskin, petani, buruh, bahkan yang
pengangguran sekalipun. Tidak ada diskriminasi melainkan solidaritas. Seorang
Gubernur yang kebetulan dalam kegiatan adat berkedudukan sebagai boru harus tetap mengambil tugas sebagai
pihak parhobas (pelayan) kepada pihak hula-hula meski hula-hula itu adalah bawahan, rakyat biasa. Dari
sudut pandang Dalihan Natolu semua
orang sama diwaktu dan tempat tertentu.
Melalui
penjelasan di atas maka dapat dikatakan
bahwa Dalihan Na Tolu berperan untuk
(Aritonang, 110, 116):
a. Menetapkan
kedudukan fungsional individu dan kelompok dalam sisitem kekerabatan.
b. Mengatur
pola hubungan kekerabatan antara individu dengan kelompok kekerabatan.
c. Mengatur
hak dan kewajiban setiap orang dalam
setiap kegiatan atau pelaksanaan adat.
d. Menjadi
norma atau pedoman perilaku setiap orang dalam sistem kekerabatan, baik dalam
pelaksanaan adat maupun dalam kehidupan sehari-hari.
e. Menjadi
sarana bagi semua anggota untuk mewujudkan saling mengasihi dan saling menolong
kepada sesama manusia. Hukum kasih di sini adalah mengutamakan sikap saling
peduli memberi dan menghargai
orang lain.
f. Menyediakan
tempat bagi anggota masyarakat yang tersendiri dan terasing, terutama dalam
masyakat kota yang pluralis dan individualistis.
g. Memberikan
identitas.
Secara
ringkas Dalihan Na Tolu dihayati oleh
orang Batak sebagai sebuah konsep dasar kebudayaan dan sistem nilai serta
afeksi. Ia memberikan bagi mereka orientasi untuk hidup dan menentukan persepsi
dan definisi terhadap realitas
maupun untuk bertindak. Sistem ini menanamkan kepribadian yang sangat religius,
mandiri, demokratis,
dan menghargai keterbukaan. Nilai-nilai normatif religius dari Dalihan Na Tolu yang sesuai dengan
nilai-nilai kekeristenan dan alkitabiah adalah kesama-rataan dan kesemimbangan,
keterbukaan, solodaritas yang terlihat dalam saling menolong, menghormati,
menopang, mengasihi, dan bersikap adil. Posisi fungsional yang tidak statis
mengarahkan orang Batak yang menghidupi falsafah itu dengan hidup dalam
kerendahan hati, kehati-hatian, kelemah-lembutan, dan tidak melecehkan
pihak lain melainkan hidup dalam solidaritas yang saling memberdayakan.
Memang
harus disadari bahwa Dalihan Na Tolu
merupakan sistem yang diterapkan dalam konteks kekerabatan orang Batak di manapun mereka berada.
Namun nilai-nilai filosofis dan moral yang terkandung di dalamnya bersifat universal
dan dapat diterapkan dalam kehidupan bersama dengan suku lain. Orang Batak,
yang sudah terbiasa diajar dan menghidupi nilai-nilai itu dalam konteks
kekerabatan Batak, harusnya dapat menerapkannya pada konteks yang lebih luas. Kepada sesama manusia
dalam konteks solidaritas sebangsa atau solidaritas sesama warga atau lebih
luas solidaritas kemanusiaan.
Kontruksi
Teologi dan Sikap Misi dalam Masyarakat
Majemuk
Penelitian
atas dunia kekristenan terbukti menjadi pembelajaran bagi interaksi multi-kultur dan multi-agama dalam
masyarakat. Di satu sisi, dalam dunia kekristenan - sebagaimana juga dalam
masyarakat majemuk - ada kebutuhan untuk
menegaskan adanya keseimbangan antara sikap menghormati dan mengakui
keberlainan (agama, sosial, kultural, seksual, dll.)
setiap orang dan komunitas, serta di
sisi lain terlibat dalam sebuah dialog kritis satu dengan yang
lain (Frederiks 2009, 4-5). Itu artinya bahwa kekristenan sudah sejak awal
berada dalam ketegangan antara kepelbagaian dan keutuhan. Dalam konteks masyarakat majemuk, para
pekerja misi -sama seperti
para pendatang -
di suatu daerah akan
hidup dalam dua atau lebih budaya pada waktu yang sama yakni budaya suku bangsa
dan daerah asal,
dan budaya tempat tinggal mereka saat ini. Misi dan pekerja misi adalah orang
yang “double belonging” dan “double identity” sekaligus berkarya
dengah masyarakat yang “double belonging”
dan “double identity”(Frederick 2009,
11). Dalam hal inilah
nilai-nilai dan identitas para pekerja misi GKPI dapat mempergunakan
nilai-nilai filosofi budayanya (Dalihan
Na Tolu) bersama dengan keteladanan Yesus dan Injil sebagai basis
mengembangkan teologi dan praksis misinya.
Proses
perjumpaan, pengadaptasian dan pemakaian nilai budaya yang beragam dalam proses
penginjilan disebut inkulturasi (Phan
2003. 4, Frederick 2009, 6). Tema misi dan inkulturasi adalah sesuatu
yang sangat rumit namun telah menjadi bagian pokok dan integral dari proses penginjilan
(Phan 2003, 3-10). Ada beberapa metode kontekstualisasi dan inkulturasi seperti
penerjemahan (translation), adaptasi (adaptation), mengakomodasi dll, namun
dalam tulisan ini proses yang
dipilih bukanlah proses memperkenalkan kekristenan pada budaya lokal,namun
lebih pada korelasi timbal balik (mutual correlation)
antara iman Kristen dan nilai-nilai budaya Batak (Dalihan Na Tolu) yang akan dipakai sebagai basis teologi dan
praktek misi. Artinya keduanya saling menerangi dan memperlengkapi.
Menurut Robert J. Schreiter, untuk
berkembang dan mengembangkan masyarakat majemuk ada tiga tahap yang harus
dilalui yakni tahap mengakui
keberagaman, tahap menghargai keberagaman dan dampak yang dimilikinya, dan
terakhir tahap kemauan untuk berkomunikasi dan bekerjasama (Schreiter 1998,
95-96). Kalau diperhatikan ketiga tahap ini,
dalam arti tertentu,
terangkum dalam filisofi Dalihan Na tolu.
Dengan nilai-nilai filosofi Dalihan Na
Tolu didialogkan dengan
pendapat Schreiter di atas serta
membandingkannya dengan sikap LWF[3] dalam dokumen Mission
in context, penulis mencoba menawarkan konstruksi teologi
dan sikap misi di tengah masyarakat majemuk sebagai:
a. Misi
Sebagai warta kasih yang Inklusif (dalam
sikap saling menghargai dan menghormati)
Dalam
masyarakat multikultural banyak orang merasa identitasnya sedang dipertanyakan
atau kehilangan Identitas. Hal ini berakibat pada usaha-usaha pembangunan diri
atau “proyek identitas”, membentuk kelompok-kelompok baru (mis, parsahutaon,
perkumpulan masyarakat rantau dari satu daerah tertentu, komunitas satu
iman, dll.) dan membangun identitas diri dan
kelompok. Selain itu,
ada gerakan-gerakan fundamentalisme untuk melindungi identitas diri atau
kelompok terhadap pihak luar, dan membangun ketaatan penuh pada keyakinan ideal
tradisional agama dan kelompoknya (Aritonang 2012, 18-19). Hal ini sering
menimbulkan ketegangan, munculnya sekat-sekat berdasar agama dan suku,
sekat-sekat antara penduduk asli dan pendatang, kecurigaan dan kecemburuan, dan lain-lain. Dalam
konteks yang demikian, sikap misi yang diterapkan para misonaris (jaman dulu) yang mencurigai
dan menganggap kafir/rendah bahkan tidak menghormati budaya, agama setempat
sudah sepantasnya ditransformasi. Sikap mengakui dengan penuh kasih dan saling
menghormati keberagaman budaya dan agama menjadi hal penting sebagaimana
tertuang dalam Garis Kebijakan Umum (GKU) GKPI:
“Perkabaran Injil
dilakukan dengan tetap menghormati umat beragama lain dan dalam semangat
kerukunan, terutama kerukunan antar umat yang berbeda…maka diaolog iman
diberbagai aras supaya diusahakan. (GKU GKPI 2010-2015, 17)
Menarik
memperhatikan pernyataan salah salah seorang teolog Indonesia saat ini, Gerrit Singgih.
Singgih, meminjam istilah dari Kosuke Koyama, mengatakan bahwa di tengah pluralisme agama - juga pluralisme budaya - yang kita butuhkan
adalah “teologi pertetanggaan’ yang secara kongkrit dapat mendorong orang
Kristen untuk bersahabat dan bergaul dengan orang beragama, berbudaya lain
dengan hidup terintegrasi dengan keadaan sekitar dan tanggap terhadap
penderitaan di sekeliling
(Singgih 2002, 25). Pernyataan ini menyadari betul bahwa dialog antar iman -
juga budaya - seperti halnya upaya perdamaian dan kerjasama di dalam
masyarakat, demi pemahaman timbal balik dan demi kebenaran, merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari misi gereja. Dialog inklusif antar iman yang dimulai
dengan sikap mangakui dan saling menghargai bukan hanya penting demi hidup
berdampingan secara damai, tetapi juga untuk membangun keprihatinan bersama dan
kerjasama dalam menemukan berbagai jalan bagi komunitas multi-agama,
multi-kultur untuk menanggulangi masalah sosial yang ada (Aritonang
2012, 39).
Misi
sebagai warta kasih, dengan demikian, perlu memperhatikan dan mereformulasi
pemahaman dan sikap sesama dan terhadap orang lain “the other”. Selama kata sesama yang harus dikasihi dan dihormati dipahami hanya
semarga, sesuku, sealiran, dan
seagama maka kita sedang melupakan perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang
murah hati dan percakapan Yesus dengan perempuan Samaria di sumur Yakub (Luk
10:25-37; Yoh 4). Dalam perumpamaan itu sesama manusia itu justru orang lain: the other. Warta misi sebagai warta
kasih bagi sesama diperluas bagi semua orang, tidak terbatas pada sekat-sekat
yang dibangun di tengah
pluralitas budaya dan agama. ”Misi Allah lebih luas daripada batas-batas
gereja”. Sebagaimana muatan nilai Dalihan
Na tolu yaitu kesetaraan, maka dalam rangka mengasihi seseorang harus
berbuat baik, melayani, dan mengasihi
sesamanya. Ini juga berarti kebersediaan menganggap manusia (serta menerima)
barang siapa yang berbeda ras, suku, bangsa, agama,dan gereja dalam
kesetaraan sebab Allah mengasihi mereka, Allah tidak hanya Allah bagi satu suku
dan budaya saja. Ia adalah Allah universal dan penyelamat universal. Hal ini juga membawa kita pada jawaban atas pertanyaan Bishop yakni
"bagaimana menjadi sesama"? Menjadi sesama dengan mempraktekkan
nilai-nilai dalam dalihan natolu yang
ditopong oleh kesadaran akan keuniversalan Yesus. Menjadi sesama dengan
menerobos sekat-sekat dan fundamentalisme identitas kelompok dan megembangkan
"teologi pertetanggaan".
Itulah
sebabnya, menjalankan misi perlu menyadari keuniversalan Yesus yang diberitakan[4].
Kesadaran ini akan menghantar misi dan pekerja misi juga menyadari
keuniversalannya. Yesus merupakan bagian dari budaya partikular tertentu
sebagaimana Ia memiliki tubuh, lahir di tempat dan waktu tertentu. Tetapi
kemanusiaan Yesus lebih dari sekedar menjadi Yahudi. Dia adalah “Anak Allah”
yang berarti bahwa menjadi manusia juga berarti menjadi universal. Yesus
bergerak melampaui kesukuan dan budaya asal-Nya ketika pergi ke Samaria dan
mengambil kesempatan untuk berdiskusi secara mendalam mengenai kehidupan dengan
perempuan Samaria yang datang dengan bejana untuk mengambil air dari sumur. Ia
melihat perempuan Samaria sama dan sederajat dengan manusia yang lain.
Percakapan antara Yesus dan perempuan Samaria menuntut bahwa penghargaan dan
rasa hormat pada orang lain sangat penting tanpa membanding-bandingkan
identitas personal (Yoh 4:4-26) (Sahi 2010, 54-55).
Belajar
dari keuniversalan dan sikap Yesus, menjadi
sesama berarti semua identitas budaya yang ada, diakui dengan rasa
hormat sebagai sesama manusia dalam seluruh keberadaan dan budayanya. Rasa
hormat dan sikap menghormati di sini melampaui pengakuan akan ke-liyan-an
mereka. Sebagai gerak teologis, rasa hormat terhadap perbedaan dan keberadaan
yang lain termasuk perjuangan melawan mereka yang memakai penanda ras atau
model pemisahan yang lain yang dipakai untuk melakukan penidasan dan
diskriminasi. Rasa hormat dengan demikian merupakan perjuangan praksis melawan
dosa dan kejahatan (Schreiter 1998, 95). Pemahaman misi dan sikap misi yang
demikian akan membawa keterbukaan untuk turut serta merasakan penderitaan yang
dialami masyarakat, dan-mengikuti
model Yesus- bersama-sama berjuang dari derajat yang sama mencari jalan keluar.
b. Misi
sebagai Warta dan Proses Pemberdayaan, dan Partisipatoris.
Meneladani Yesus dalam bingkai nilai-nilai
Dalihan Na Tolu dapat menjadi model
misi dalam proses pemberdayaan (dalam proses mengasihi dan tolong-menolong). Sikap misi yang cenderung karitatif dan menggurui dengan
memberi bantuan pada orang-orang yang di Injili tidak lagi sebuah proses yang
membangun dalam masyarakat majemuk. Proses yang demikian cenderung menempatkan
masyarakat yang diinjili “terbelakang, tidak mampu, dan tidak sederajat”
dengan pembawa Injil. Maka penting mencatat dan menghayati pernyataan GKPI
dalam GKU tentang pelaksanaan PI (GKU GKPI 2010-2015, 16)
pekabaran injil tidak dilakukan
dengan menjanjikan hadiah untuk menarik hati mereka yang diinjili agar masuk
kristen…tujuan pekabaran injil bukan kristenisasi, melainkan pewartaan Kabar
Baik, berita keselamatan dan hidup baru di dalam Tuhan Yesus Kristus.
Pernyataan ini
merupakan sikap yang mentransformasi pendekatan lama (karitatif) [5],
menuju pendekatan transformatif dengan memberdayakan masyarakat yang di Injili.
GKPI dalam hal ini mengikuti sikap LWF yang mengatakan bahwa misi Allah
mencakup transformasi, rekonsiliasi, dan pemberdayaan, yang dilakukan melalui
jalan inkarnasi, kematian, dan kebangkitan (Aritonang 2012, 32-35).
Pemberdayaan semua pihak dalam masyarakat, dan berpartisipasi dalam setiap
aktivitas, distribusi kekuasaan yang seimbang dan sederajat, menjadi pilihan
yang lebih memungkinkan dikembangkan sebagai cara baru dalam melakukan misi PI khususnya
dalam konteks masyarakat majemuk.
Misi selayaknya memberi kesempatan yang sama bagi semua warga untuk berkembang
berpatisipasi menjadi pekerja misi dan mampu mandiri dalam kehidupan ekonomi.
Para penginjil dan gereja bertugas untuk mempersiapkan orang-orang kudus untuk
melakukan tindakan diakonal dan misi (bnd.
Ef. 4:11-12) sehingga misi
tidak lagi hanya tugas lembaga gereja tetapi tugas semua orang. Teologi misi kontekstual dengan demikian
berpatokan pada pemberdayaan rakyat. Teologi kontekstual termasuk misi
kontekstual yang dikembangkan dari budaya dan dari ajaran Alkitab harus mampu
membangkitkan solidaritas dan belarasa untuk menolong dan memberdayakan semua
lapisan masyarakat (bnd.
Singgih 2000, 75). Dalam hal ini, Kolimon mengatakan
“kita terpanggil untuk
memberitakan solidaritas Allah dengan yang tidak berdaya dan terpinggirkan yang
bertujuan untuk menguatkan dan memberdayakan mereka agar menjadi agen-agen
kerajaan Allah” (Kolimon 2011, 56).
Seperti yang terungkap dalam janji Kristus sebelum
kenaikan-Nya, para murid akan menerima kuasa apabila Roh Kudus turun atas
mereka (Kis.
1:8). Dengan kata lain, mereka diberdayakan-Nya untuk bersaksi
“sampai ke ujung bumi”. Allah berbagi “kuasa” dengan umat-Nya agar mereka turut
serta (berpartisipasi) dalam misi-Nya. Roh Kudus memberdayakan gereja untuk
menentang berbagai bentuk penyalahgunaan kuasa yang ditujukan untuk menguasai
orang lain. Laki-laki dan perempuan, tua atau muda, rohaniwan atau warga, semua
diberdayakan-Nya dengan anugerah beragam karunia yang perlu dikembangkan dan
dimanfaatkan untuk saling membangun dan menopang. Dalam pemberdayaan ini, tidak
dikenal perbedaan suku-ras, budaya dan perbedaan antara mereka yang berkuasa
memberdayakan orang lain dan mereka yang tak berdaya. Semua perlu diberdayakan
dan saling memberdayakan (Aritonang 2012, 34-35).
Dalam gerak misi keluar, gereja diberdayakan Allah
untuk memberdayakan masyarakat. Tentu proses ini terjalin erat dengan diakonia
sebagai praktek pembebasan (Kolimon 2011, 50,55). Semua ini dilakukan tanpa
memandang latarbelakang orang yang membutuhkan pertolongan dalam berbagai
situasi kehidupan, dan tidak hanya ekonomi dan sosial tetapi juga secara
emosional, relasional dan spiritual (Aritonang 2012, 35). Pemberdayaan dalam
kaitan dengan hubungan dengan orang lain dan sesama karakter hubungan itu
haruslah digambarkan sebagai saling menghargai (mutual appreciation), kesetaraan dan solidaritas bukan dalam
karakter superioritas-inferioritas,
atau “yang asli-tiruan”, atau istilah lain “penduduk setempat-pendatang’
(bnd. Kolimon 2011, 54). Dalam pemberdayaan inilah ketiga
tahap yang diajurkan Schreiter dan nilai dibalik falsafah Dalihan Na Tolu yakni mengakui,
menghormati, dan mau bekerjasama terlaksana sekaligus.
c. Misi
sebagai proses pengejawantahan warta keadilan dan keseimbangan di tengah
masyarakat dan lingkungan hidup.
Tahapan
ke tiga Schreiter mengembangkan masyarakat multi-kultur adalah kemauan untuk bekrjasama
dengan yang pihak yang berbeda,
termasuk bekerjasama dalam memperjuangkan keadilan ekonomi dan sosial. Kerjasama
dalam keadilan termuat dalam tiga sikap moral-etis Dalihan Na Tolu : Somba
marhula-hula, manat mardongan tubu,
dan elek marboru. Ketiga sikap etis ini
memungkinkan terlaksananya suatu pesta atau kegiatan dalam masyarakat.
Keseimbangan dalam konteks trialog
yang adil di mana masing-masing
harus dilihat sebagai suatu totalitas, satu keseluruhan yang satu dan utuh.
Keseimbangan itu termuat dalam kosmos (dunia) dan masyarakat. Mengingat bahwa
berita Injil adalah pewartaan kabar baik atas keadilan Allah yang membebaskan
dan berdaya cipta menghibur mereka menderita, membebaskan yang tertindas, maka Misi di tengah masyarakat majemuk
adalah usaha menegakkan keadilan bersama dengan dan di dalam masyarakat.
Berdampingan dengan sikap dan keadilan Allah yang membebaskan itu, keadilan
dalam Dalihan Na Tolu menjadi modal
bagi gereja dalam keterlibatan misi pendampingan dan pekerjaan menegakkan
keadilan. Keadilan itu mengalir dari keadilan Allah yang berlangsung dalam Misi
Allah di mana
gereja yang misioner ikut serta (bnd Aritonang 2012, 37-38). Kebiasan hidup
dalam falsafah Dalihan Na Tolu dan
terlebih Iman kepada Allah yang membenarkan dengan anugerah-Nya mengilhami dan
memperkuat gereja untuk “berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan
rendah hati di hadapan Allah” (Mi.
6:8).
Dalam
arti yang sedemikian, maka perlu dipahami
bahasa misi-paling tidak dalam pemikiran saya- adalah usaha untuk membagun
okuimene kemanusiaan yang adil dan tidak terbatas pada satu suku, aliran, dan gereja tetapi
oikumene yang terbuka bagi semua orang. Teologi misi adalah teologi
keseimbangan dan kesederajatan antar semua ciptaan yang dilihat sebagai suatu
kesatuan dan utuh sebagai karya Allah. Misi dalam prakteknya menjadi advokasi
untuk keadilan. Misi yang demikian menunjuk kepada praksis gereja di tengah
masyarakat majemuk maupun mono-kultural sebagai penegasan pembelaan terhadap
martabat hidup manusia, sebagai individu dan sebagai masyarakat. Keadilan yang
dimaksud meliputi bidang ekonomi,
sosial, dan ekologi. Kadilan
ekonomi-sosial di antaranya
termasuk perjuangan keadilan upah bagi para buruh yang sangat bergantung pada
perusahaan (kapitalis).
Kesimpulan
Teologi
dan praksis misi yang dibangun dengan basis nilai Dalihan Natolu berdampingan dalam proses saling menerangi dengan
keadilan misi Allah menciptakan masyarakat yang saling mengakui, menghormati,
bekerjasama,
dan berbagi di mana
keadilan dan kesejahteraan diberikan pada semua orang. Semangat ini diwujudkan
dalam kehidupan bergereja dan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Saling mengasihi dan partisipatif dalam misi bukanlah sebuah usaha untuk
membangun diri sendiri (eksklusif) melainkan membangun komunitas bersama orang
lain “the other” (inklusif) dalam cara pemberdayaan dan bukan karitatif .
Dengan demikian,
misi adalah warta kasih yang saling mengasihi dan menghargai, memberdayakan dan
advokasi keadilan sosio-ekonomi dan ekologi. Misi di tengah masyarakat
multi-kultur dengan pendekatan nilai-nilai Dalihan
Na Tolu, yang menekankan keseimbangan antar semua pihak, lebih berusaha
mencipta gerak oikumenis yang tidak lagi dibatasi dengan kesamaan suku, aliran
dan dogma saja, melainkan berusaha menciptakan oikumene kemanusiaan yang
melampaui batas ras, etnis agama,
dan golongan. Komunitas oikumenis merupakan komunitas kemanusiaan dalam
keanggotaan Kerajaan Allah dan Nilai-nilai Dalihan
Na Tolu bersama Firman Allah saling menerangi menjadi basisnya.
Daftar acuan
Aritonang,
Jan S., peny. 2005. Beberapa pemikiran
menuju teologi dalihan na tolu. Jakarta: Dian Utama
________,
peny. 2012. Misi dalam konteks: transformasi,
rekonsiliasi, pemberdayaan kontribusi LWF terhadap
pemahaman dan praktik misi (terj.).
Pematangsiantar: Kolportase GKPI
Frederiks,
Martha. 2009. World christianity:A training school for multiculturalism. Exchange: Journal of Missiological and
Ecumenical Research Vol 38, no. 1
(2009): 3-20
Gereja
Kristen Protestan Indonesia. 2010. Garis
Kebijakan Umum (GKU) GKPI 2010-2015.Pematangsiantar: Kolportase GKPI
Gereja
Kristen Protestan Indonesia. 2005. Tata
Gereja GKPI.Pematangsiantar: Kolportase GKPI
Kolimon,
Mery. 2011. Empowerment: a new generatif theme of christian mission in a globalized
world. Exchange: Journal of Missiological
and Ecumenical Research Vol 40, no.
1 (2011): 35-56
Schreiter,
Robert J. 1998. The new catholicity: theology
between the global and the local. New York: Orbis Books
Singgih,Gerrit
E. 2002. Iman & politik dalam era
reformasi. Jakarta: BPK-GM
Sinaga,
Anicentus B. 1981. The Toba-Batak High
God:trancendence and immanence.Augustin: Anthropos Institute
Siagian,
Bernard TP. 2009. Enkulturasi iman:etnografi
budaya Batak bagi pendidikan iman Kristen.Pematangsiantar:L-SAPA STT-HKBP
Sipahutar,
Patut. 2012. GKPI dan misi (pekabaran
injil dan diakonia) retroyeksi, introspeksi, dan proyeksi. Ceramah, Seminar
Pekabaran Injil GKPI Wilayah Jabodetabek, Jakarta 25 Agustus 2012
Sahi,
Jyoti. 2010. Dialogue and imaginantion: reflection by an Indian Christian artist. Exchange: Journal of Missiological and Ecumenical
Research Vol 39, no 1 (2010): 49-69
Tobing,
Ph.O. 1963. The structure of the
Toba-Batak belief in the High God. Macassar: South and South-east celebes
Institute for Culture
[1] Adat itu sendiri
merupakan bagian dari budaya mencakup hubungan antara manusia dalam kelompok
serta hubungan antar kelompok masyarakat atau komunitas yang didasarkan pada
kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun.
[2] Trialog itu adalah :
Tiga dunia (dunia atas, dunia tengah,
dan dunia bawah), Tiga penguasa kosmos (Batara
guru, Soripada, Mangalabulan), tiga eksistensi manusia (Roh, Nyawa, Tubuh),
tiga eksistensi masyarakat (Hula-hula, Dongan tubu, Boru), Tiga cita-cita
(Hasangapon/kehormatan, Hamoraon/kekayaan, Hagabeon/beranak cucu), tiga warna
(Hitam,Putih, Merah)
[3] sebagaimana tertuang
dalam dokumen Mission in Context: Transformation,
Reconciliation, Empowerment. An LWF Contribution to the Understanding and Practice
of mission. Dalam tulisan
ini,
penulis mempergunakan versi terjemahan yang diterbitkan oleh GKPI.
[4] Keuniversalan Yesus ini juga yang menjadi salah satu
pemahaman yang dibangun dalam seminar tersebut yang dirumuskan dalam kerangka
rujukan seminar yang berbunyi " pekabaran Injil harus ditangani dengan
keramahan (kesangerahan) rahmat Tuhan yang universal". Hal ini juga yang
kemudian dikupas oleh Pdt. Dr. Martin Lukito Sinaga. Dalam hal ini, apa yang
penulis paparkan di sini hanyalah "sebuah usaha kecil" untuk menambah
sedikit pemahaman penulis (dan kiranya juga pembaca) tentang keuniversalan
Yesus tersebut.
[5] Dalam
evaluasi terhadap praktek misi GKPI selama ini, Bishop GKPI mengatakan
bahwa pengalaman misi GKPI di tengah Suku Anak Dalam Jambi dan tempat-tempat
lain di Sumatera Bagian Selatan, yang dulu senantiasa dengan sistem memberi
bantuan berupa sabun, makan, dan lain-lain tanpa mengajari dan memberdayakan
mereka cenderung gagal. Injilpun dilepaskan saat sabun tidak ada lagi. Selain
itu sikap gereja dan Pekerjaan PI yang selama ini bergantung pada bantuan dana
(yang juga bersifat karitatif) membuat gereja sering tidak berdaya dan PI akan
terkendala ketika bantuan dana berkurang atau berhenti. Oleh karena itu sudah
saatnya model ini dirubah menuju model transformatif yang membebaskan dan
memandirikan (Sipahutar 2012, 2). Kolimon, dalam rangka pemberdayaan ini,
mengatakan bahwa sembari
menyadari bahwa klaim kemandirian dan pemberdayaan gereja-gereja hasil
penginjilan Barat tidak berarti memutus tali kerjasama akan tetepi hubungan
kerjasama itu haruslah dirubah pada tataran kesetaraan dan solidaritas yang
saling menghargai dan menolong bukan yang top-down
sebagaimana
selama ini dipraktekkan (Kolimon 2011, 54).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar