Jumat, 23 Oktober 2015

Dalihan Na Tolu dan Misi Kontekstual GKPI di tengah Masyarakat Majemuk




Pendahuluan
            Ketika mengikuti seminar bertajuk pewartaan Kabar Baik di tengah masyarakat majemuk, yang dilaksanakan oleh GKPI wilayah Jabodetabek pada tanggal 15 Mei 2014 yang lalu, ada dua pernyataan yang menarik perhatian saya. Pertama, pernyataan Pdt. Dr. Martin Lukito Sinaga, salah seorang pembicara, demikian: "Misi gereja dalam masyarakat majemuk tidak dapat terlepas dari budaya masyarakat yang menjadi warga gereja. Misalnya, falsafah Dalihan na Tolu dalam budaya Batak dapat menjadi penolong dalam pengembangan gerak misi gereja yang berlatarbelakang suku Batak". Kedua, pernyataan sekaligus pertanyaan Pdt. P. Sipahutar, MTh (bishop GKPI), demikian:  "Di tengah masyarakat majemuk saat ini, dalam menjalankan misi, penting tidak hanya bertanya "siapa sesama kami" tetapi lebih jauh lagi kita harus bertanya bagaimana menjadi sesama bagi orang lain?" Bagi penulis, kedua pernyataan tersebut cukup menarik untuk ditindaklanjuti. Hal itulah yang mendorong penulis menuangkan ketertarikan tersebut dalam tulisan ini. Dalam tulisan ini, penulis mencoba melihat dan menunjukkan bahwa filosopi Dalihan Na Tolu yaitu keadilan, keseimbangan, serta saling menghormati dan saling menolong dapat menjadi salah satu basis bagi GKPI untuk merekonstruksi sikap dan teologi misi yang inklusif di tengah konteks masyarakat yang majemuk sekaligus mencoba menjawab secara sederhana pertanyaan Bishop di atas. Secara sederhana, tulisan ini diharapkan dapat memberi sumbangan kecil bagi pengembangan gerak misi GKPI yang kontektsual di tengah masyarakat majemuk di usianya yang ke-50 ini. Tulisan ini terdiri dari 3 bagian yakni (1) pembahasan tentang Dalihan Natolu; (2) kontruksi teologi dan sikap misi GKPI dalam masyarakat majemuk. Hal ini akan dilakukan dengan mendialogkan nilai-nilai filosofi Dalihan Natolu dengan dokumen LWF misi dalam konteks serta pandangan teologis Robert J. Scheiter tentang pemgembangan masyarakat majemuk; (3) Penutup atau kesimpulan.

Filosofi Dalihan Natolu
            Kehidupan masyarakat Batak Toba sangat dipengaruhi oleh Adat[1]. Dalam budaya Batak, adat merupakan tatanan kosmik dengan segala norma sosio-religius yang melekat padanya dan penurunannya diyakini secara mistis (Sinaga 1981, 89-90). Salah satu dimensinya adalah Dalihan Na Tolu (arti harfiah: Tungku nan Tiga) yakni sebuah konsep budaya, suatu totalitas dari tiga unsur (kedudukan) fungsional: (1) Hula-hula (pihak pemberi perempuan); (2) Dongan tubu (pihak semarga), dan (3) Boru (pihak penerima perempuan). Ketiga kedudukan fungsional ini diartikan sebagai tiga tungku sejajar, sama besarnya, sama tingginya, dan sama peranannya dalam menopang tatanan kehidupan kekerabatan. Ketiganya tidak bersifat permanen dan statis melainkan dinamis dan aktif. Posisi dan peran fungsional itu mengalir dan akan saling bergantian, sesuai dengan posisi masing-masing terhadap marga tuan rumah (penyelenggara kegiatan). Itu berarti posisi sebagai hula-hula, boru, dan dongan tubu tidak tetap dipangku oleh sekelompok atau satu orang (tidak ada monopoli dan totalitarian). Setiap pribadi dalam kesempatan tertentu bisa berkedudukan sebagai hula-hula tapi dikesempatan lain sebagai boru atau dongan tubu. Ketiga kedudukan fungsional itu dimiliki oleh setiap pribadi di tempat dan acara yang berbeda. Di sinilah prinsip keseimbangan dan keadilan distribusi kekuasaan dalam falsafah Dalihan Na Tolu muncul (Tobing, 1963:84-92).
            Sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu mengandung kaidah moral berisi ajaran saling menghormati (marsipasangapan), saling menghargai (masiargaan), dan saling menolong (marsiurupan). Dalihan Na Tolu dengan kata lain dapat disebut sebagai nilai moralitas adat budaya Batak yang timbul dan berkembang dalam pergaulan hidup warga Batak dengan berpatokan pada ikatan kekerabatan marga di manapun dan kapanpun dia berada (Aritonang  2005, 140-143). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu adalah kaidah yang perlu dihayati dan dilakukan dalam rangka menjawab - dalam kadar tertentu - pertanyaan "bagaimana menjadi sesama" dalam sebuah komunitas. Secara struktural konsep Dalihan Na Tolu mencerminkan konsep serba tiga (trialog/dialog rangkap tiga) yakni adanya tiga dunia, tiga penguasa, tiga eksistensi manusia, tiga eksistensi masyarakat, tiga cita-cita. Setiap unsur dalam konsep ini harus dilihat sebagai suatu totalitas, satu keseluruhan utuh[2] (Siagian 2009, 103-106). Sebagai sebuah sistem budaya, Dalihan Na Tolu mempunyai persyaratan fungsional yang bertujuan demi tercapainya keseimbangan dan harmoni serta bermanfaat untuk mempertahankan keutuhan sistem budaya sekaligus sistem religius. Gagasan keseimbangan tersebut terwujud dalam tiga sikap batin atau sikap moral-etis (Aritonang 2005, 143; Siagian 2009, 100-101):
1.     Manat mardongan tubu yaitu sikap hati-hati terhadap sesama/satu marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan adat dan kehidupan sehari-hari.
2.     Elek marboru yakni sikap sayang, lemah lembut terhadap pihak “boru” agar dengan cara itu mereka mampu secara iklas mendukung pelaksanaan acara adat. Peran boru dalam adat adalah bekerja melayani hula-hula. Tanpa mereka, maka pesta adat tidak akan terselenggara sebab merekalah yang mempersiapkan perlengkapan serta menangani pekerjaan dalam pesta.
3.     Somba marhula-hula, yaitu sikap hormat pada pihak hula-hula agar mereka selalu mau dan mampu memberikan bantuan moril dan doa berkat dalam pelaksanaan acara adat.
Sikap batin ini harus kelihatan dalam perilaku dan komunikasi. Dalam acara adat, komunikasi yang dialogis antar ketiga pihak ini selalu diawali dengan kata sapaan “raja”: rajani ni Boru, raja ni Dongan tubu, dan raja ni Hula-hula I,serta raja ni Dongan Sahuta. Sebutan tersebut adalah sapaan sopan sebagai tanda hormat sebab semua orang dalam adat Batak adalah raja. Ini bukan status pribadi melainkan sebuah status sosial semua orang Batak sesuai dengan nilai-nilai moral-etis dan sopan-santun adat. Inilah landasan normatif yang merupakan paradigma equilibrium (keseimbangan) yang menjamin kelangsungan harmoni dalam konsep budaya Dalihan Na Tolu (Siagian 2009, 102).
            Pengambilan keputusan biasanya dilakukan dalam bentuk dialog (musyawarah) yang terbuka serta demokratis dengan ketiga unsur  fungsional yang ada. Hal ini menunjukkan kesejajaran kedudukan, semua dianggap raja yang memiliki martabat yang sama. Oleh karena itu tidak dimungkinkan merasa superior atau inferior antar pihak, baik dalam hak, kewajiban, dan berpendapat. Status ekonomi dan posisi di negara/lembaga tidak menentukan dalam adat. Gubernur, Bupati sama-sama raja dengan orang miskin, petani, buruh, bahkan yang pengangguran sekalipun. Tidak ada diskriminasi melainkan solidaritas. Seorang Gubernur yang kebetulan dalam kegiatan adat berkedudukan sebagai boru harus tetap mengambil tugas sebagai pihak parhobas (pelayan) kepada pihak hula-hula meski hula-hula itu adalah bawahan, rakyat biasa. Dari sudut pandang Dalihan Natolu semua orang sama diwaktu dan tempat tertentu. 
            Melalui penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu berperan untuk (Aritonang, 110, 116):
a.      Menetapkan kedudukan fungsional individu dan kelompok dalam sisitem kekerabatan.
b.     Mengatur pola hubungan kekerabatan antara individu dengan kelompok kekerabatan.
c.      Mengatur hak dan kewajiban setiap orang  dalam setiap kegiatan atau pelaksanaan adat.
d.     Menjadi norma atau pedoman perilaku setiap orang dalam sistem kekerabatan, baik dalam pelaksanaan adat maupun dalam kehidupan sehari-hari.
e.      Menjadi sarana bagi semua anggota untuk mewujudkan saling mengasihi dan saling menolong kepada sesama manusia. Hukum kasih di sini adalah mengutamakan sikap saling peduli memberi dan menghargai orang lain.
f.      Menyediakan tempat bagi anggota masyarakat yang tersendiri dan terasing, terutama dalam masyakat kota yang pluralis dan individualistis.
g.     Memberikan identitas.
            Secara ringkas Dalihan Na Tolu dihayati oleh orang Batak sebagai sebuah konsep dasar kebudayaan dan sistem nilai serta afeksi. Ia memberikan bagi mereka orientasi untuk hidup dan menentukan persepsi dan definisi terhadap realitas maupun untuk bertindak. Sistem ini menanamkan kepribadian yang sangat religius, mandiri, demokratis, dan menghargai keterbukaan. Nilai-nilai normatif religius dari Dalihan Na Tolu yang sesuai dengan nilai-nilai kekeristenan dan alkitabiah adalah kesama-rataan dan kesemimbangan, keterbukaan, solodaritas yang terlihat dalam saling menolong, menghormati, menopang, mengasihi, dan bersikap adil. Posisi fungsional yang tidak statis mengarahkan orang Batak yang menghidupi falsafah itu dengan hidup dalam kerendahan hati, kehati-hatian, kelemah-lembutan, dan tidak melecehkan pihak lain melainkan hidup dalam solidaritas yang saling memberdayakan.
            Memang harus disadari bahwa Dalihan Na Tolu merupakan sistem yang diterapkan dalam konteks kekerabatan orang Batak di manapun mereka berada. Namun nilai-nilai filosofis dan moral yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan dapat diterapkan dalam kehidupan bersama dengan suku lain. Orang Batak, yang sudah terbiasa diajar dan menghidupi nilai-nilai itu dalam konteks kekerabatan Batak, harusnya dapat menerapkannya pada konteks yang lebih luas. Kepada sesama manusia dalam konteks solidaritas sebangsa atau solidaritas sesama warga atau lebih luas solidaritas kemanusiaan.

Kontruksi Teologi dan Sikap Misi dalam Masyarakat Majemuk
            Penelitian atas dunia kekristenan terbukti menjadi pembelajaran bagi interaksi multi-kultur  dan multi-agama dalam masyarakat. Di satu sisi, dalam dunia kekristenan - sebagaimana juga dalam masyarakat majemuk - ada kebutuhan untuk menegaskan adanya keseimbangan antara sikap menghormati dan mengakui keberlainan (agama, sosial, kultural, seksual, dll.) setiap orang dan komunitas, serta di sisi lain terlibat dalam sebuah dialog kritis satu dengan yang lain (Frederiks 2009, 4-5). Itu artinya bahwa kekristenan sudah sejak awal berada dalam ketegangan antara kepelbagaian dan keutuhan. Dalam konteks masyarakat majemuk, para pekerja misi  -sama seperti para pendatang - di suatu daerah akan hidup dalam dua atau lebih budaya pada waktu yang sama yakni budaya suku bangsa dan daerah asal, dan budaya tempat tinggal mereka saat ini. Misi dan pekerja misi adalah orang yang “double belonging” dan “double identity” sekaligus berkarya dengah masyarakat yang “double belonging” dan “double identity”(Frederick 2009, 11). Dalam hal inilah nilai-nilai dan identitas para pekerja misi GKPI dapat mempergunakan nilai-nilai filosofi budayanya (Dalihan Na Tolu) bersama dengan keteladanan Yesus dan Injil sebagai basis mengembangkan teologi dan praksis misinya.
            Proses perjumpaan, pengadaptasian dan pemakaian nilai budaya yang beragam dalam proses penginjilan disebut inkulturasi (Phan  2003. 4, Frederick 2009, 6). Tema misi dan inkulturasi adalah sesuatu yang sangat rumit namun telah menjadi bagian pokok dan integral dari proses penginjilan (Phan 2003, 3-10). Ada beberapa metode kontekstualisasi dan inkulturasi seperti penerjemahan (translation), adaptasi (adaptation), mengakomodasi dll, namun dalam tulisan ini proses yang dipilih bukanlah proses memperkenalkan kekristenan pada budaya lokal,namun lebih pada korelasi timbal balik (mutual correlation) antara iman Kristen dan nilai-nilai budaya Batak (Dalihan Na Tolu) yang akan dipakai sebagai basis teologi dan praktek misi. Artinya keduanya saling menerangi dan memperlengkapi.
            Menurut Robert J. Schreiter, untuk berkembang dan mengembangkan masyarakat majemuk ada tiga tahap yang harus dilalui yakni tahap mengakui keberagaman, tahap menghargai keberagaman dan dampak yang dimilikinya, dan terakhir tahap kemauan untuk berkomunikasi dan bekerjasama (Schreiter 1998, 95-96). Kalau diperhatikan ketiga tahap ini, dalam arti tertentu, terangkum dalam filisofi Dalihan Na tolu. Dengan nilai-nilai filosofi Dalihan Na Tolu didialogkan dengan pendapat Schreiter di atas serta membandingkannya dengan sikap LWF[3] dalam dokumen Mission in context,  penulis mencoba menawarkan konstruksi teologi dan sikap misi di tengah masyarakat majemuk sebagai:
a.      Misi Sebagai warta kasih yang Inklusif (dalam sikap saling menghargai dan menghormati)
            Dalam masyarakat multikultural banyak orang merasa identitasnya sedang dipertanyakan atau kehilangan Identitas. Hal ini berakibat pada usaha-usaha pembangunan diri atau “proyek identitas”, membentuk kelompok-kelompok baru (mis, parsahutaon, perkumpulan masyarakat rantau dari satu daerah tertentu, komunitas satu iman, dll.) dan membangun identitas diri dan kelompok. Selain itu, ada gerakan-gerakan fundamentalisme untuk melindungi identitas diri atau kelompok terhadap pihak luar, dan membangun ketaatan penuh pada keyakinan ideal tradisional agama dan kelompoknya (Aritonang 2012, 18-19). Hal ini sering menimbulkan ketegangan, munculnya sekat-sekat berdasar agama dan suku, sekat-sekat antara penduduk asli dan pendatang, kecurigaan dan kecemburuan, dan lain-lain. Dalam konteks yang demikian, sikap misi yang diterapkan para misonaris (jaman dulu) yang mencurigai dan menganggap kafir/rendah bahkan tidak menghormati budaya, agama setempat sudah sepantasnya ditransformasi. Sikap mengakui dengan penuh kasih dan saling menghormati keberagaman budaya dan agama menjadi hal penting sebagaimana tertuang dalam Garis Kebijakan Umum (GKU) GKPI:
“Perkabaran Injil dilakukan dengan tetap menghormati umat beragama lain dan dalam semangat kerukunan, terutama kerukunan antar umat yang berbeda…maka diaolog iman diberbagai aras supaya diusahakan. (GKU GKPI 2010-2015, 17)
Menarik memperhatikan pernyataan salah salah seorang teolog Indonesia saat ini, Gerrit Singgih. Singgih, meminjam istilah dari Kosuke Koyama, mengatakan bahwa di tengah pluralisme agama - juga pluralisme budaya - yang kita butuhkan adalah “teologi pertetanggaan’ yang secara kongkrit dapat mendorong orang Kristen untuk bersahabat dan bergaul dengan orang beragama, berbudaya lain dengan hidup terintegrasi dengan keadaan sekitar dan tanggap terhadap penderitaan di sekeliling (Singgih 2002, 25). Pernyataan ini menyadari betul bahwa dialog antar iman - juga budaya - seperti halnya upaya perdamaian dan kerjasama di dalam masyarakat, demi pemahaman timbal balik dan demi kebenaran, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari misi gereja. Dialog inklusif antar iman yang dimulai dengan sikap mangakui dan saling menghargai bukan hanya penting demi hidup berdampingan secara damai, tetapi juga untuk membangun keprihatinan bersama dan kerjasama dalam menemukan berbagai jalan bagi komunitas multi-agama, multi-kultur untuk menanggulangi masalah sosial yang ada (Aritonang 2012, 39). 
            Misi sebagai warta kasih, dengan demikian, perlu memperhatikan dan mereformulasi pemahaman dan sikap sesama dan terhadap orang lain “the other”. Selama kata sesama yang  harus dikasihi dan dihormati dipahami hanya semarga, sesuku, sealiran, dan seagama maka kita sedang melupakan perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang murah hati dan percakapan Yesus dengan perempuan Samaria di sumur Yakub (Luk 10:25-37; Yoh 4). Dalam perumpamaan itu sesama manusia itu justru orang lain: the other. Warta misi sebagai warta kasih bagi sesama diperluas bagi semua orang, tidak terbatas pada sekat-sekat yang dibangun di tengah pluralitas budaya dan agama. ”Misi Allah lebih luas daripada batas-batas gereja”. Sebagaimana muatan nilai Dalihan Na tolu yaitu kesetaraan, maka dalam rangka mengasihi seseorang harus berbuat baik, melayani, dan mengasihi sesamanya. Ini juga berarti kebersediaan menganggap manusia (serta menerima) barang siapa yang berbeda ras, suku, bangsa, agama,dan gereja dalam kesetaraan sebab Allah mengasihi mereka, Allah tidak hanya Allah bagi satu suku dan budaya saja. Ia adalah Allah universal dan penyelamat universal. Hal ini juga membawa kita pada  jawaban atas pertanyaan Bishop yakni "bagaimana menjadi sesama"? Menjadi sesama dengan mempraktekkan nilai-nilai dalam dalihan natolu yang ditopong oleh kesadaran akan keuniversalan Yesus. Menjadi sesama dengan menerobos sekat-sekat dan fundamentalisme identitas kelompok dan megembangkan "teologi pertetanggaan".
            Itulah sebabnya, menjalankan misi perlu menyadari keuniversalan Yesus yang diberitakan[4]. Kesadaran ini akan menghantar misi dan pekerja misi juga menyadari keuniversalannya. Yesus merupakan bagian dari budaya partikular tertentu sebagaimana Ia memiliki tubuh, lahir di tempat dan waktu tertentu. Tetapi kemanusiaan Yesus lebih dari sekedar menjadi Yahudi. Dia adalah “Anak Allah” yang berarti bahwa menjadi manusia juga berarti menjadi universal. Yesus bergerak melampaui kesukuan dan budaya asal-Nya ketika pergi ke Samaria dan mengambil kesempatan untuk berdiskusi secara mendalam mengenai kehidupan dengan perempuan Samaria yang datang dengan bejana untuk mengambil air dari sumur. Ia melihat perempuan Samaria sama dan sederajat dengan manusia yang lain. Percakapan antara Yesus dan perempuan Samaria menuntut bahwa penghargaan dan rasa hormat pada orang lain sangat penting tanpa membanding-bandingkan identitas personal (Yoh 4:4-26) (Sahi 2010, 54-55).
            Belajar dari keuniversalan dan sikap Yesus, menjadi sesama berarti semua identitas budaya yang ada, diakui dengan rasa hormat sebagai sesama manusia dalam seluruh keberadaan dan budayanya. Rasa hormat dan sikap menghormati di sini melampaui pengakuan akan ke-liyan-an mereka. Sebagai gerak teologis, rasa hormat terhadap perbedaan dan keberadaan yang lain termasuk perjuangan melawan mereka yang memakai penanda ras atau model pemisahan yang lain yang dipakai untuk melakukan penidasan dan diskriminasi. Rasa hormat dengan demikian merupakan perjuangan praksis melawan dosa dan kejahatan (Schreiter 1998, 95). Pemahaman misi dan sikap misi yang demikian akan membawa keterbukaan untuk turut serta merasakan penderitaan yang dialami masyarakat, dan-mengikuti model Yesus- bersama-sama berjuang dari derajat yang sama mencari jalan keluar.
b.     Misi sebagai Warta dan Proses Pemberdayaan, dan Partisipatoris.
            Meneladani Yesus dalam bingkai nilai-nilai Dalihan Na Tolu dapat menjadi model misi dalam proses pemberdayaan (dalam proses mengasihi dan tolong-menolong). Sikap misi yang cenderung karitatif dan menggurui dengan memberi bantuan pada orang-orang yang di Injili tidak lagi sebuah proses yang membangun dalam masyarakat majemuk. Proses yang demikian cenderung menempatkan masyarakat yang diinjili “terbelakang, tidak mampu, dan tidak sederajat” dengan pembawa Injil. Maka penting mencatat dan menghayati pernyataan GKPI dalam GKU tentang pelaksanaan PI (GKU GKPI 2010-2015, 16)
pekabaran injil tidak dilakukan dengan menjanjikan hadiah untuk menarik hati mereka yang diinjili agar masuk kristen…tujuan pekabaran injil bukan kristenisasi, melainkan pewartaan Kabar Baik, berita keselamatan dan hidup baru di dalam Tuhan Yesus Kristus.
Pernyataan ini merupakan sikap yang mentransformasi pendekatan lama (karitatif) [5], menuju pendekatan transformatif dengan memberdayakan masyarakat yang di Injili. GKPI dalam hal ini mengikuti sikap LWF yang mengatakan bahwa misi Allah mencakup transformasi, rekonsiliasi, dan pemberdayaan, yang dilakukan melalui jalan inkarnasi, kematian, dan kebangkitan (Aritonang 2012, 32-35). Pemberdayaan semua pihak dalam masyarakat, dan berpartisipasi dalam setiap aktivitas, distribusi kekuasaan yang seimbang dan sederajat, menjadi pilihan yang lebih memungkinkan dikembangkan sebagai cara baru dalam melakukan misi PI khususnya dalam konteks masyarakat majemuk. Misi selayaknya memberi kesempatan yang sama bagi semua warga untuk berkembang berpatisipasi menjadi pekerja misi dan mampu mandiri dalam kehidupan ekonomi. Para penginjil dan gereja bertugas untuk mempersiapkan orang-orang kudus untuk melakukan tindakan diakonal dan misi (bnd. Ef. 4:11-12) sehingga misi tidak lagi hanya tugas lembaga gereja tetapi tugas semua orang. Teologi misi kontekstual dengan demikian berpatokan pada pemberdayaan rakyat. Teologi kontekstual termasuk misi kontekstual yang dikembangkan dari budaya dan dari ajaran Alkitab harus mampu membangkitkan solidaritas dan belarasa untuk menolong dan memberdayakan semua lapisan masyarakat (bnd. Singgih 2000, 75). Dalam hal ini, Kolimon mengatakan
“kita terpanggil untuk memberitakan solidaritas Allah dengan yang tidak berdaya dan terpinggirkan yang bertujuan untuk menguatkan dan memberdayakan mereka agar menjadi agen-agen kerajaan Allah” (Kolimon 2011, 56).
            Seperti yang terungkap dalam janji Kristus sebelum kenaikan-Nya, para murid akan menerima kuasa apabila Roh Kudus turun atas mereka (Kis. 1:8). Dengan kata lain, mereka diberdayakan-Nya untuk bersaksi “sampai ke ujung bumi”. Allah berbagi “kuasa” dengan umat-Nya agar mereka turut serta (berpartisipasi) dalam misi-Nya. Roh Kudus memberdayakan gereja untuk menentang berbagai bentuk penyalahgunaan kuasa yang ditujukan untuk menguasai orang lain. Laki-laki dan perempuan, tua atau muda, rohaniwan atau warga, semua diberdayakan-Nya dengan anugerah beragam karunia yang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan untuk saling membangun dan menopang. Dalam pemberdayaan ini, tidak dikenal perbedaan suku-ras, budaya dan perbedaan antara mereka yang berkuasa memberdayakan orang lain dan mereka yang tak berdaya. Semua perlu diberdayakan dan saling memberdayakan (Aritonang 2012, 34-35).
            Dalam gerak misi keluar, gereja diberdayakan Allah untuk memberdayakan masyarakat. Tentu proses ini terjalin erat dengan diakonia sebagai praktek pembebasan (Kolimon 2011, 50,55). Semua ini dilakukan tanpa memandang latarbelakang orang yang membutuhkan pertolongan dalam berbagai situasi kehidupan, dan tidak hanya ekonomi dan sosial tetapi juga secara emosional, relasional dan spiritual (Aritonang 2012, 35). Pemberdayaan dalam kaitan dengan hubungan dengan orang lain dan sesama karakter hubungan itu haruslah digambarkan sebagai saling menghargai (mutual appreciation), kesetaraan dan solidaritas bukan dalam karakter superioritas-inferioritas, atau “yang asli-tiruan”,  atau istilah lain “penduduk setempat-pendatang’ (bnd. Kolimon 2011, 54). Dalam pemberdayaan inilah ketiga tahap yang diajurkan Schreiter dan nilai dibalik falsafah Dalihan Na Tolu yakni mengakui, menghormati, dan mau bekerjasama terlaksana sekaligus.
c.      Misi sebagai proses pengejawantahan warta keadilan dan keseimbangan di tengah masyarakat dan lingkungan hidup.
            Tahapan ke tiga Schreiter mengembangkan masyarakat multi-kultur adalah kemauan untuk bekrjasama dengan yang pihak yang berbeda, termasuk bekerjasama dalam memperjuangkan keadilan ekonomi dan sosial. Kerjasama dalam keadilan termuat dalam tiga sikap moral-etis Dalihan Na Tolu : Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek marboru. Ketiga sikap etis ini memungkinkan terlaksananya suatu pesta atau kegiatan dalam masyarakat. Keseimbangan dalam konteks trialog yang adil di mana masing-masing harus dilihat sebagai suatu totalitas, satu keseluruhan yang satu dan utuh. Keseimbangan itu termuat dalam kosmos (dunia) dan masyarakat. Mengingat bahwa berita Injil adalah pewartaan kabar baik atas keadilan Allah yang membebaskan dan berdaya cipta menghibur mereka menderita, membebaskan yang tertindas, maka Misi di tengah masyarakat majemuk adalah usaha menegakkan keadilan bersama dengan dan di dalam masyarakat. Berdampingan dengan sikap dan keadilan Allah yang membebaskan itu, keadilan dalam Dalihan Na Tolu menjadi modal bagi gereja dalam keterlibatan misi pendampingan dan pekerjaan menegakkan keadilan. Keadilan itu mengalir dari keadilan Allah yang berlangsung dalam Misi Allah di mana gereja yang misioner ikut serta (bnd Aritonang 2012, 37-38). Kebiasan hidup dalam falsafah Dalihan Na Tolu dan terlebih Iman kepada Allah yang membenarkan dengan anugerah-Nya mengilhami dan memperkuat gereja untuk “berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah” (Mi. 6:8).
            Dalam arti yang sedemikian, maka perlu dipahami bahasa misi-paling tidak dalam pemikiran saya- adalah usaha untuk membagun okuimene kemanusiaan yang adil dan tidak terbatas pada satu suku, aliran, dan gereja tetapi oikumene yang terbuka bagi semua orang. Teologi misi adalah teologi keseimbangan dan kesederajatan antar semua ciptaan yang dilihat sebagai suatu kesatuan  dan utuh sebagai karya Allah. Misi dalam prakteknya menjadi advokasi untuk keadilan. Misi yang demikian menunjuk kepada praksis gereja di tengah masyarakat majemuk maupun mono-kultural sebagai penegasan pembelaan terhadap martabat hidup manusia, sebagai individu dan sebagai masyarakat. Keadilan yang dimaksud meliputi bidang ekonomi, sosial, dan ekologi. Kadilan ekonomi-sosial di antaranya termasuk perjuangan keadilan upah bagi para buruh yang sangat bergantung pada perusahaan (kapitalis).
Kesimpulan
            Teologi dan praksis misi yang dibangun dengan basis nilai Dalihan Natolu berdampingan dalam proses saling menerangi dengan keadilan misi Allah menciptakan masyarakat yang saling mengakui, menghormati, bekerjasama, dan berbagi di mana keadilan dan kesejahteraan diberikan pada semua orang. Semangat ini diwujudkan dalam kehidupan bergereja dan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Saling mengasihi dan partisipatif dalam misi bukanlah sebuah usaha untuk membangun diri sendiri (eksklusif) melainkan membangun komunitas bersama orang lain “the other” (inklusif) dalam cara pemberdayaan dan bukan karitatif . Dengan demikian, misi adalah warta kasih yang saling mengasihi dan menghargai, memberdayakan dan advokasi keadilan sosio-ekonomi dan ekologi. Misi di tengah masyarakat multi-kultur dengan pendekatan nilai-nilai Dalihan Na Tolu, yang menekankan keseimbangan antar semua pihak, lebih berusaha mencipta gerak oikumenis yang tidak lagi dibatasi dengan kesamaan suku, aliran dan dogma saja, melainkan berusaha menciptakan oikumene kemanusiaan yang melampaui batas ras, etnis agama, dan golongan. Komunitas oikumenis merupakan komunitas kemanusiaan dalam keanggotaan Kerajaan Allah dan Nilai-nilai Dalihan Na Tolu bersama Firman Allah saling menerangi menjadi basisnya.
 Daftar acuan
Aritonang, Jan S., peny. 2005. Beberapa pemikiran menuju teologi dalihan na tolu. Jakarta: Dian Utama
________, peny. 2012. Misi dalam konteks: transformasi, rekonsiliasi, pemberdayaan kontribusi LWF terhadap pemahaman dan praktik misi (terj.). Pematangsiantar: Kolportase GKPI
Frederiks, Martha. 2009. World christianity:A training school for multiculturalism. Exchange: Journal of Missiological and Ecumenical Research Vol 38,  no. 1 (2009): 3-20
Gereja Kristen Protestan Indonesia. 2010. Garis Kebijakan Umum (GKU) GKPI 2010-2015.Pematangsiantar: Kolportase GKPI
Gereja Kristen Protestan Indonesia. 2005. Tata Gereja GKPI.Pematangsiantar: Kolportase GKPI
Kolimon, Mery. 2011. Empowerment: a new generatif theme of christian mission in a globalized world. Exchange: Journal of Missiological and Ecumenical Research Vol 40,  no. 1 (2011): 35-56
Schreiter, Robert J. 1998. The new catholicity: theology between the global and the local. New York: Orbis Books
Singgih,Gerrit E. 2002. Iman & politik dalam era reformasi. Jakarta: BPK-GM
Sinaga, Anicentus B. 1981. The Toba-Batak High God:trancendence and immanence.Augustin: Anthropos Institute
Siagian, Bernard TP. 2009. Enkulturasi iman:etnografi budaya Batak bagi pendidikan iman Kristen.Pematangsiantar:L-SAPA STT-HKBP
Sipahutar, Patut. 2012. GKPI dan misi (pekabaran injil dan diakonia) retroyeksi, introspeksi, dan proyeksi. Ceramah, Seminar Pekabaran Injil GKPI Wilayah Jabodetabek, Jakarta 25 Agustus 2012
Sahi, Jyoti. 2010. Dialogue and imaginantion: reflection by an Indian Christian artist. Exchange: Journal of Missiological and Ecumenical Research Vol 39,  no 1 (2010): 49-69
Tobing, Ph.O. 1963. The structure of the Toba-Batak belief in the High God. Macassar: South and South-east celebes Institute for Culture



[1] Adat itu sendiri merupakan bagian dari budaya mencakup hubungan antara manusia dalam kelompok serta hubungan antar kelompok masyarakat atau komunitas yang didasarkan pada kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun.
[2] Trialog itu adalah : Tiga dunia (dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah), Tiga penguasa kosmos (Batara guru, Soripada, Mangalabulan), tiga eksistensi manusia (Roh, Nyawa, Tubuh), tiga eksistensi masyarakat (Hula-hula, Dongan tubu, Boru), Tiga cita-cita (Hasangapon/kehormatan, Hamoraon/kekayaan, Hagabeon/beranak cucu), tiga warna (Hitam,Putih, Merah)
[3] sebagaimana tertuang dalam dokumen Mission in Context: Transformation, Reconciliation, Empowerment. An LWF Contribution to the Understanding and Practice of mission. Dalam tulisan ini, penulis mempergunakan versi terjemahan yang diterbitkan oleh GKPI.
[4] Keuniversalan Yesus ini juga yang menjadi salah satu pemahaman yang dibangun dalam seminar tersebut yang dirumuskan dalam kerangka rujukan seminar yang berbunyi " pekabaran Injil harus ditangani dengan keramahan (kesangerahan) rahmat Tuhan yang universal". Hal ini juga yang kemudian dikupas oleh Pdt. Dr. Martin Lukito Sinaga. Dalam hal ini, apa yang penulis paparkan di sini hanyalah "sebuah usaha kecil" untuk menambah sedikit pemahaman penulis (dan kiranya juga pembaca) tentang keuniversalan Yesus tersebut.
[5] Dalam evaluasi terhadap praktek misi GKPI selama ini, Bishop GKPI mengatakan bahwa pengalaman misi GKPI di tengah Suku Anak Dalam Jambi dan tempat-tempat lain di Sumatera Bagian Selatan, yang dulu senantiasa dengan sistem memberi bantuan berupa sabun, makan, dan lain-lain tanpa mengajari dan memberdayakan mereka cenderung gagal. Injilpun dilepaskan saat sabun tidak ada lagi. Selain itu sikap gereja dan Pekerjaan PI yang selama ini bergantung pada bantuan dana (yang juga bersifat karitatif) membuat gereja sering tidak berdaya dan PI akan terkendala ketika bantuan dana berkurang atau berhenti. Oleh karena itu sudah saatnya model ini dirubah menuju model transformatif yang membebaskan dan memandirikan (Sipahutar 2012, 2). Kolimon, dalam rangka pemberdayaan ini, mengatakan bahwa sembari menyadari bahwa klaim kemandirian dan pemberdayaan gereja-gereja hasil penginjilan Barat tidak berarti memutus tali kerjasama akan tetepi hubungan kerjasama itu haruslah dirubah pada tataran kesetaraan dan solidaritas yang saling menghargai dan menolong bukan yang top-down sebagaimana selama ini dipraktekkan (Kolimon 2011, 54).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar