Pendahuluan
Upah
dalam dunia kerja senantiasa menjadi topik yang hangat. Penentuan upah sering
menjadi persoalan yang sulit untuk disepakati oleh pihak yang bersangkut paut. Pemberian
UMR sebagai ukuran minimun pengupahan sering menjadi diskusi yang alot antara
buruh, pengusaha,
dan pemerintah. UMR di setiap provinsi tidak sama bergantung pada produktifitas
dan biaya hidup di provinsi tersebut. Upah tentu berkaitan dengan kesejahteraan
dan produktifitas kerja buruh/pekerja. Artikel
ini akan mencoba melihat pemahaman upah secara teologis biblis
ditinjau dari PL dan PB. Beberapa pokok yang menjadi perhatian dalam paper ini
adalah: (1) apakah pemahaman upah dalam Alkitab; (2) proses penentuan dan peraturan
tentang upah dalam Alkitab; dan (3) persoalan apakah yang muncul berkaitan
dengan upah dalam Alkitab dan bagaimana penanggulannya. Dibagian akhir, secara singkat akan
diuraikan persoalan upah di Indonesia saat ini.
Upah Secara Umum
Dalam
KBBI upah didefenisikan sebagai uang dan lain sebagainya yang dibayarkan sebagai
pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk
mengerjakan sesuatu; gaji; imbalan. Upah minimum adalah upah paling rendah yang
menurut undang-undang atau persetujuan serikat buruh yang harus dibayarkan oleh
perusahaan kepada karyawan (Tim Penyusun KBBI 1994, s.v. upah, 1108). Sementara
kamus Oxford mendefenisikannya sebagai pembayaran reguler (mingguan,harian, atau bulanan) yang
diberikan atau diterima untuk perkerjaan/ jasa
atau pembayaran reguler biasanya setiap bulan kepada karyawan yang
melakukan pekerjaan secara khusus yang bererja profesional atau pekerja kantor (Oxford
Dictionary 1995, s.v. salary and wage
, 1037,1335). Dalam Bible Dictionary, upah (Ibr. Sakar, Yun. Misthos) didefenisikan sebagai kompensansi/pembayaran, biasanya
dalam bentuk uang, yang diberikan kepada seseorang sebagai bayaran atas jasa
atau kerja (Eerdmans Bible Dictionary, s.v. wages,1043). Dari defenisi di atas dapat
disimpulkan bahwa upah adalah uang dan lain sebagainya yang dibayarkan sebagai
balasan jasa atau tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu dalam
rentang waktu tertenu dan berdasarkan kesepakatan bersama.
Upah dalam Perspektif
PL
Istilah
upah (רכש/sakar) dalam dalam PL berasal
dari kata skr yang dapat ditemukan
dalam bahasa Ibrani, Fenisia, Aram, Arab, dan Etopia. Sebagai kata kerja skr berarti “melibatkan, mengaji,”
seseorang untuk aktivitas tertentu. Misalnya raja Moab membayar Bileam mengutuk
Israel (UL 23:5; Neh 13:2; bnd Bil 22:5ff); Abimelek memberi upah kepada para
petualang yang mau bergabung dan mengikutinya (Hak 9:4), Mika mengupah
seseorang untuk menjadi imam baginya sebesar sepuluh uang perak, sepasang
pakaian dan makanan setiap tahunnya (Hak 17:10, 18:4); dan lain-lain. Dalam
Septuaginta kata ini diterjemahkan menjadi misthoun.
Sebagai kata benda sakir, seker atau sakar. Seker berarti
“imbalan, upah”, muncul hanya di Yesaya 19:10 dan Amsal 11:18. Sakar muncul sebanyak 28 kali dengan
makna “upah” atau harga yang dibayarkan pada pekerja untuk melakukan pekerjaan tertentu
seperti perawat bayi (Kel 2:9), tukang
kayu (1 Raj 5:6), gembala (Zak 11:12), pekerja harian (Ul 15:18), dan imam (orang lewi) dibait Allah (Bil 18:32), dan
lain-lain. Secara metapora sakar menunjuk
pada harga dari sebuah kemenangan (Yes 40:10; 62:11), rampasan militer (Yeh
29:18-19) dan juga sebagai imbalan kesetiaan pada YHWH (II Taw 15:7). Makna
substantif lain “upah, imbalan” adalah maskoret
(תרכשמ). Dalam Kej 29:15;31:7, 41 maskoret
merujuk pada upah bagi Yakub yakni dua putri Laban dan ternaknya. Ekspresi itu
juga muncul dalam Ruth 2:12, dimana kata itu merujuk pada imbalan Ruth. (Theological
Dictionary of The Old Testament Vol. XIV, s.v. sakar, 131-133)
Masyarakat
Israel pada fase awal dan masih hidup nomaden tidak terbiasa bekerja upahan dan
bahkan pada masa awal pendudukan tanah Kanaan pun demikian. Setiap keluarga
punya tanah dan mengerjakannya untuk bertahan hidup. Namun, seiring perjalanan
waktu yang diikuti perkembangan perekonomian, perdagangan dan kontak dengan
pihak luar, terbentuklah kelas-kelas ekonomi dalam masyarkat. Dengan munculnya kelas-kelas
masyarakat ini maka pekerja yang digaji/diupah pun berkembang dengan keahlian
yang beragam. Sebagai imbalan mereka diupah dengan perak atau perunggu (Eerdmans
Bible Dictionary, s.v. wages, 1043). Gerakan mencekau tanah pada abad 8 SM (Yes
5:8) menggusur banyak pemilik tanah dari tanah pusakanya, dan membiarkan mereka
ditimpa utang yang hanya dapat dilunasi dengan jalan menjadi hamba pekerja (2
Raj 4:1). Seiring perjalanan waktu, beberapa keluarga bertumbuh makin miskin
dan kehilangan tanah mereka, dan sejajar dengan itu peningkatan pekerja di
Israel terjadi yang mengharuskan mereka berkerja untuk di upah (Ul 24:24) (Vaux
1965, 76).
Jumlah dan Proses Penentuan Upah
Di Mesopotamia, pekerja di upah baik
dengan uang atau dalam bentuk natura.
Berdasarkan kode Hammurabi mereka diupah satu syikal perak perbulan selama
musim kerja keras, dan bahkan lebih murah disisa tahun (Vaux 1965, 76). Namun, PL tidak memberikan
informasi langsung mengenai jumlah upah para pekerja kecuali imam yang melayani
Mika (Hak 17:10) dan dalam pemahaman yang lebih umum dalam kasus para pahlawan
yang gagah perkasa yang dibayar raja Amazia (2 Taw 25:6) (TDOT, 132). Meski
jumlah upah dalam PL tidak ditentukan numun upah para pekerja yang akan dibayar
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi kerja dengan pekerja. Para budak,
orang bebas yang dibayar untuk pekerjaan tertentu, selama waktu tertentu dengan
gaji yang sudah disepakati. Pada masa berikutnya, hampir semua perkerja
di bidang pertanian diupah dengan cara ini. Penduduk asli atau pendatang asing
juga diupah atas jasa dan kerja mereka dengan metode ini (Kel 12:45; Im 22:10;
Ul 24:14). Mereka bekerja sebagai gembala,
pemanen atau pengumpul anggur. Mereka mungkin diupah perhari (Im 19:13; Ul
24:15; bnd Mat 20:8), atau tahunan (Im 25:50,53; Yes 16:14; 21:16) (Vaux 1965,
76).
Salah
satu contoh paling jelas adalah kesepakatan antara Yakub dan Laban yang membuat
ikatan kerja dengan upah (תרכשמ /maskoret)
yang pasti (Kej 29:15-28; 30:32-43; 31;7).
Kesepakatan pertama, Laban mengingkari kesepakatan dengan menipu Yakub,
Rahel yang seharusnya menjadi Istri Yakub sebagai upahnya bekerja selama tujuh
tahun diganti dengan Lea. Laban dengan kuasanya menawarkan klausul baru dan mereka sepakat lagi untuk memulai masa
kerja yang baru. Pada kesempatan ketiga,
Yakub sendirilah yang menawarkan klausul kesepakatan untuk mereka lakukan.
Laban masih tetap mau menipu Yakub namun Allah tidak membiarkannya.
Perlindungan dan campur tangan Allah dapat
dilihat dari komentar Yakub “Tetapi ayahmu telah berlaku curang kepadaku
dan telah sepuluh kali mengubah upahku, tetapi Allah tidak membiarkan dia
berbuat jahat kepadaku” (Kej 31:7). Dari kisah Yakub, setiap pemberi kerja
harus tahu dan sadar bahwa Tuhan Allah peduli akan nasib dan masa depan para
tenaga kerja. Pemberi kerja dan penerima seharusnya senantiasa jujur.
Perlindungan
Terhadap Pekerja Berkaitan Dengan Upah
PL
dengan jelas menentang ketidakadilan dan memberikan beragam hukum untuk
melindungi orang lemah dari penindasan/praktek
ketidakadilan. Hukum yang melindungi orang upahan dan hamba. Seorang Israel
yang karena kemiskinan terpaksa menjual dirinya menjadi hamba, harus dianggap
berstatus pekerja, lalu dibebaskan pada tahun ketujuh dan atau pada tahun Yobel
dengan memberinya bekal sebagai upahnya (Ul 15:12-18; Im 25:39-5). Setiap
keluarga yang mempekerjakan pembantu dan pekerja lain, baik Yahudi maupun bukan
Yahudi, tidak boleh menahan upahnya melainkan harus dibayar pada hari yang sama
ketika pekerjaanya selesai (Im 19:13; Ul 24:14-15). Hal ini menunjukkan bahwa budak
dan pekerja upahan dilindungi dari eksploitasi. Majikan dilarang mengeruk
keuntungan dari ketidakmampuan pekerjanya untuk menentangnya (Hiers 2009,
183-184).
Kenyataan
ini akan semakin jelas jika kita mencoba sedikit lebih mendalami teks Ul
24:14-15. Teks ini berada dalam rangkaian hukum yang terbantang dari 24:
5-25:19. Kedua ayat ini termasuk dalam hukum perlindungan terhadap sesama
manusia khususnya perlindungan terhadap orang miskin yang dalam kitab Ulangan mencakup
anak yatim, janda,
dan orang asing (Ul 24:14-22). Kedua ayat ini adalah hukum yang melindungi
pekerja upahan dari penganiayaan dan tindakan semenamena. Teks ini memiliki
struktur kiamus seperti berikut:
A Janganlah engkau memeras pekerja harian
yang miskin dan menderita,
B baik
ia saudaramu maupun seorang asing yang ada di negerimu, di dalam tempatmu.
X Pada
hari itu juga haruslah engkau membayar upahnya sebelum matahari terbenam;
A’ ia mengharapkannya, karena ia orang miskin;
B’ supaya ia jangan berseru kepada TUHAN mengenai engkau dan hal
itu menjadi dosa bagimu.
Berdasarkan strukturnya, pusat dari hukum ini
adalah anjuran untuk membayarkan upah (רכש/sakar) tepat pada waktunya sebelum
matahari terbenam (15a) atau setelah seseorang selesai melakukan pekerjannya
pada hari itu. Hal itu menjadi penting karena mereka miskin dan
mengharapkannya. Artinya,
mereka membutuhkannya dan bergantung pada upah tersebut untuk dapat melanjutkan
hidupnya. Seorang penafsir, Craige, mengatakan digunakannya hukum ini dalam PB
(Yak 5:4) membuat jelas bahwa hukum ini tidak hanya melindungi pekerja yang
miskin tetapi juga yang kaya, orang kaya yang memenuhi tanggungjawab mereka
pada pekerjanya mempertahankan integritas komunitas mereka. Sebaliknya mereka
akan dikutuk jika tidak melakukan kewajiban itu. Hukum ini juga dikutip dalam
pengajaran Yesus dengan makna tambahan yakni kemurahan hati Allah dan ajaran
bahwa kepuasan terdalam dalam pengalaman hidup tidak diperoleh melalui
pemusatan dan pengumpulan kekayaan dan kuasa pada diri sendiri melalui eksplotasi
pada pihak lain (Christensen 2002, 587-589).
Imamat 19:13 lain lagi konteksnya,
Janganlah engkau memeras sesamamu manusia dan
janganlah engkau merampas; janganlah kautahan upah seorang pekerja harian
sampai besok harinya
Hukum ini berada dalam aturan dan ajaran
untuk menjaga kekudusan hidup dalam segala aspek kehidupan sehari-hari. Bersama
ayat 11-14; 17-18, 19-20, 29, 32-34, ayat ini menganjurkan supaya semua orang
berbuat dan berbicara secara jujur dan adil. Selain itu mereka dituntut menjaga
serta menghormati hubungan antar pribadi dan mengasihi orang lain seperti diri
sendiri. Mereka tidak bisa menipu, memeras atau merampas sesama manusia. Mereka
harus membayar upah (ריכש/sakir) pekerja
harian tanpa halangan, dan memelihara orang-orang cacat. Mencari laba dengan
memperlakukan orang lemah dengan tidak adil menjadi dosa melawan Tuhan. Secara
khusus ayat 13 ini terdiri dari tiga larangan yakni larangan memeras, merampas
dan menahan upah. Praktek menahan upah pekerja harian menghalangi kemungkinan
pekerja tersebut untuk membayar atau membeli makanan bagi keluarganya pada
malam hari itu dan hari berikutnya (bnd Ul 24:14-15; Yer 22:13; Mat 20:8) (
Paterson 1997, 269 bnd Hartley 1992, 310-312,315).
Sikap Allah yang menentang ketidakadilan
berkaitan dengan upah juga di suarakan para nabi. Nabi-nabi mengecam para tuan yang mengambil
untung dari para pekerjanya (Mal 3:5; Yer 22:13) (Eerdmans Bible Dictionary,
s.v. wages, 1043). Yeremia mengecam dan menyerukan nubuatan celaka (berita
kematian) atas ketidakadilan yang dilakukan raja Yoyakim yang mempekerjakan sesamanya
tanpa memberikan upah. Yoyakim mengikuti kebiasaan umum para raja di Timur
Dekat kuno yang memberlakukan kerja paksa untuk kepentingan/kekayaan dan
kemewahan gaya hidup pribadinya sendiri. Dengan memperkerjakan sesamanya tanpa
upah, Yoyakim telah merusak makna Israel sebagai umat yang merdeka melalui
karya pembebasan Allah dari perbudakan Mesir. Dan hal ini adalah ketidakadilan
yang dibenci Allah (Bracke 2000, 176-177)
Upah dalam Persfektif
PB
Dalam
PB sama seperti di PL, kata upah dapat bermakna etis dan religius yakni upah
yang diberikan Allah atas ketaatan melakukan kehendakNya dan yang
sungguh-sungguh mencariNya (bnd Mat. 5:12; Luk 6:23,35; Kol 3:24; Ibr 10:35;
11:6). Upah juga bermakna hukuman bagi mereka yang melanggar kehendak Allah. Upah
dosa adalah maut, nasib buruk atau tersesat (Rom 6:23; 2 Pet. 2:13,15). Upah
orang yang diselamatkan Kristus akan diterima mulai pada waktu ia hidup (2 Kor
5:5), dan akan diterima sepenuhya sesudah penghukuman nanti, ketika umat
perjanjian menikmati hidup yang kekal dan melihat Allah untuk selamalamanya (Why
21;3) (Esiklopedia Alkitab Masa Kini, s.v.upah, 530).
Bahasa
Yunani untuk upah adalah misthos.
Dalam septuaginta misthos dapat
berarti sebagai upah yang biasanya bagi para pekerja manual, pembayaran imbalan
terhadap jasa militer, pelayanan imam di bait suci, dan lain-lain. Dalam hal
ekonomi, Misthos berkaitan dengan pembayaran yang diberikan kepada pekerja
karena pekerjaan yang sudah dilakukan (Luk 10:7 dan 1 Tim 5:18) .
Dalam
PB hampir semua referensi tentang upah diambil dari bidang pertanian secara
khusus dalam perumpamaan dan pengajaran
Yesus. Yesus menegaskan bahwa para pekerja layak mendapatkan upahnya (Luk
10;7), dan dalam perumpamaan penggarap di kebun anggur menggunakan upah sebagai
indikasi dari keinginan Allah untuk bermurah hati (Eerdmans Bible Dictionary,
s.v. wages, 1043). Dalam PB orang upahan, meski demikian, tidak hanya dalam
bidang pertanian seperti pekerja di kebun anggur ( Mat 20:1,7) tetapi juga
orang sebagai nelayan (Mrk 1:20) dan para gembala (Joh 10:12-13) (Ensiklopedia
Alkitab Masa Kini, s.v. upah, 529). Aturan umum bahwa setiap pekerja layak
mendapatkan upah berkaitan juga dengan prinsip bahwa mereka yang memberitakan
injil, harus hidup dari pemberitaan injil itu (1 Kor 9:14; 2 Kor 11:8; 1 Tim
5:18). Hal ini harus diingat jemaat, tetapi janganlah sekali-kali berkhotbah
atau mengajar demi uang/upah (Tit 1:7; I Pet 5:2) (Bolan 2008, 213-214).
Penentuan Upah
Sama
seperti dalam PL, penetapan upah dalam PB dilakukan dengan kesepatakan bersama
antara pemberi kerja dan pekerja. Gambaran yang paling jelas dapat dilihat
dalam perumpamaan Yesus tentang orang-orang upahan di kebun anggur (Mat 20:1-16).
Perumpamaan Yesus ini merupakan bentuk perlawanan terhadap penahanan upah dan
pemusatan kekayaan dan tanah pada segelintir orang, serta sebagai ilustrasi dan
ajaran untuk membayar upah pekerja tepat
waktu dan sesuai kesepakatan (Moo 1986, 163). Pembayaran upah pada hari itu
juga mengikuti hukum dalam Ulangan 24:15 dan Imamat 19:13 yang sudah dibahas di
atas. Perumpamaan ini menunjukkan bahwa para perkeja pertanian yang miskin
muncul diperempatan jalan/pasar setiap pagi dengan harapan akan ada yang
mengaji mereka. Berharap imbalan atas energi dan kemampuan mereka untuk
sekeping perak untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya yakni makanan,
pakaian dan tempat berteduh. Upah diberikan berdasar kesepakatan dua belah
pihak sebelum bekerja. Di pagi hari sang tuan sepakat dengan beberapa orang
dengan upah satu dinar (ay 2). Pada masa itu satu dinar adalah pendapatan/upah
harian minimum sehari yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan keluarga
(Smith 1989, 236). Tuan menunjukkan keadilan dengan membayar setiap orang tanpa
ada yang dirugikan.
Pemberian
upah yang sama kepada pekerja yang datang belakangan sebagai bentuk kemurahan
hati sang tuan. Kemurahan hati sang tuan sudah mulai kelihatan saat ia memberi
pekerjaan pada lima kelompok pekerja yang masuk dalam waktu yang berbeda. Kemurahan
hati itu harus dilihat para pekerja, itulah sebabnya urutan pembayaran gaji
dimulai dari yang masuk belakangan. Dalam teks ini kemurahan hati sang tuan
yang menyetarakan para pekerjanya menimbulkan rasa iri dan protes dari pekerja
yang masuk duluan. Menjawab protes itu, sang tuan memulai penjelasannya dengan
menyapa mereka sebagai ‘saudara’ (ayat 13). Kata saudara ini merupakan
terjemahan kata hetaire –e`tai/re
yang dapat diterjemahkan sebagai kawan. Kata kawan atau saudara digunakan terhadap
orang lain yang tidak diketahui namanya sebagai sapaan hormat (Matius
22:12;26:50). Sapaan yang memperlihatkan rasa hormat dan bukannya suatu celaan.
Meski diprotes pekerjanya sang tuan tetap menghormati
pekerjanya
(Barus 2008, 7-10). Meski perumpamaan
ini dapat diartikan secara alegoris dan menunjuk pada pekerjaan umat percaya
dalam ladang Allah, tetapi tidak dapat disangkal bahwa perumpamaan ini juga memberi
gambaran pemberian upah yang adil, akurat dan tepat waktu sesuai dengan aturan
dalam PL (UL 24:15.0) (Heer 1996, 391-392)
Respon Allah terhadap
ketidakadilan soal upah (Relasi buruh-majikan)
Dalam
Injil, sudah ditunjukkan bahwa Yesus mengajarkan bahwa setiap pekerja layak
mendapatkan upah. Para pekerja itu dibayar dengan selayaknya dan adil sesuai dengan kesepakatan (Mat 20). Jika ada
tuan yang berlaku tidak adil terhadap buruh/pekerjanya maka Allah akan berada
dipihak buruh mentang perilaku tersebut. Surat Yakobus dapat ditunjuk menjadi
salah satu surat yang sarat akan hikmat dan nasihat praktis, memberikan
perhatian yang besar terhadap orang miskin yang disingkirkan dan peringatan
yang keras terhadap orang sombong yang suka menindas (Yak 4:13-17) serta penentangan
terhadap diskriminasi (Yah 2:1-13). Salah satu kecaman Yakobus kepada
orang kaya berkaitan dengan ketidakadilan yang dialami kaum buruh dapat dilihat
dalam Yakobus 5:1-6. Perikop ini berisi peringatan kepada orang kaya dan teriakan
buruh tani.
Masalah
atau konteks yang melatarbelakangi kisah ini adalah kepemilikan atau penguasaan
lahan yang terkonsentrasi di tangan sedikit orang dan menjadi beban berat bagi
buruh tani. Yakobus menampilkan orang kaya sebagai pelaku dua macam kejahatan
yakni hidup mewah (ay 2-3) dan penindasan (4-5). Sama seperti nabi-nabi Israel
(Yesaya, Mika dan Amos), Yakobus dalam tegurannya sangat tegas dan pahit
terhadap ketidakadilan ekonomi yang diakibatkan penahanan upah dan penolakan
pemberian imbalan yang sesuai dengan jerih
payah pekerjanya (bnd Yer 22:13; Mal 3:5; dll) (Martin1988, 175)
Yakobus
mengecam orang kaya dan mengingatkan bahwa hidup mewah mereka bukan hanya tak
bertahan tetapi juga akan membawa kehancuran bagi mereka. Semua kemewahan
yang tidak wajar itu menjadi bukti
melawan mereka yang menyebabkan mereka ditolak Tuhan dalam pengadilan terkhir
(Ay 3). Dalam ayat 4 Yakobus memihak pada buruh tani yang ditindas orang kaya.
Para petani kecil dari awal sudah sulit bersaing dengan tuan-tuan tanah yang
umumnya hidup jauh di kota dan selalu dalam posisi unggul karena luasnya lahan,
kemajuan, teknologi, penguasaan pasar, dan kolusi dengan kaum berkuasa. Seiring
perjalanan waktu, petani kecil terpaksa meminjam uang dari tuan tanah dan
akhirnya tak dapat membayar bunganya yang tinggi dan mengembalikana utangnya.
Lalu, tanahnya diambil alih orang kaya[1].
Hal ini berakibat para petani kecil ini menjadi buruh tani kalau bukan jadi
budak. Banyaknya tenaga kerja yang tersedia malahan membuat posisi mereka
semakin lemah dan tidak mampu menuntut haknya. Mereka menderita dari hari ke hari,
sementara tuan tanah dengan semaunya dapat menahan upah harian[2]
mereka. (Harun 2007, 28-29 bnd Martin1988,173-175).
Karena
kaum buruh ini tidak dapat mengajukan protes pada majikannya, mereka hanya
dapat berteriak kepada Tuhan yang mendengar keluhan mereka.
“Sesungguhnya
telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang
telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam
keluhan mereka yang menyabit panenmu” (Yak 5:4)
Derita
kaum buruh yang dipandang enteng oleh majikannya merupakan perkara besar di mata
Tuhan semesta alam. Teriakan karena penahanan upah (misthos) telah sampai ke telinga Tuhan. Bentuk perfek (telah
sampai) merujuk pada dua hal yakni teriakan mereka telah didengar oleh Allah
dan hukuman terhadap orang kaya akan dimulai. Keluhan dan teriakan pekerja
dalam hal ini adalah kombinasi antara penderitaan yang berkaitan dengan
kelaparan dan kehendak supaya Allah bertindak membela anak-Nya (bnd Kej 4:10;
18:20; Luk 18:17; Why 6:9-10 dll) (Martin1988,179).
Sirakh 34:22 telah menyamakan hal menahan upah seorang pekerja harian dengan
pembunuhan dan pencurahan darah. Yakobuspun menuduh ” Kamu telah menghukum,
bahkan membunuh orang yang benar dan ia tidak dapat melawan kamu” (Ay 6) (
Harun 2007, 30). Sesungguhnya dengan melihat konteks para pekerja itu,
pembayaran upah yang tepat waktu sangat penting dan mereka butuhkan untuk
menyediakan makanan harian baginya dan keluarganya. Dengan demikian kegagalan
atau ketidakmauan membayar upah tepat pada waktunya dapat membahayakan
kehidupan itu sendiri (Moo 1986, 164).
Dari
pemaparan di atas kelihatanlah bahwa upah dalam pemahaman Alkitab (PL dan PB)
berkaitan dengan keberlangsungan kehidupan. Upah memiliki makna etis dan
religius sebagai dampak (hadiah atau hukuman) dari Allah pada umatNya. Secara
ekonomi upah adalah sesuatu yang harus dibayarkan sebagai imbalan dari jasa
atau tenaga yang diberikan seseorang kepada pihak lain. Upah tidak boleh ditahan
atau tidak diberikan sebab akan membahayakan kehidupan dan bagi Allah hal itu
sebagai ketidakadilan. Kecaman Alkitab terhadap ketidakadilan upah tidak hanya
pada upah itu saja tetapi lebih pada kelangsungan hidup pekerja dan
keluarganya. Penetapan upah dalam PL dan PB dilakukan berdasarkan kesepakatan
bersama antara pihak yang terlibat. Kesepakatan dilakukan di awal dan barang
siapa yang tidak melakukan kesepakatan akan dihukum. Alkitab memberi perlindungan
pada para pekerja upahan. PB menunjukkan jumlah minimal upah satu Dinar sehari
yang dapat dipakai untuk membiayai kebutuhan pokok pekerja dan keluarganya
dalam sehari. Hukum pemberian gaji pada waktu yang tepat dengan jumlah yang
akurat itu juga terdapat dalam PL yang diikuti dalam PB. Oleh karena itu secara
teologis upah minimum adalah upah yang memungkinkan pekerja membiayai hidupnya
dan keluarga selama sehari.
Pesoalan Upah masa kini
Isu
upah di Indonesia senantiasa menjadi persoalan yang kompleks. Upah merupakan
persoalan eksistensial yang penting bagi buruh. Setiap tahunnya
tuntutan-tuntutan dan aspirasi buruh selalu diteriakkan lewat media perjuangan
buruh yaitu melalui serikat-serikat pekerja/buruh yang mewakili kepentingan
mereka. Perbaikan kesejahteraan buruh menjadi tuntutan utama para buruh yang
menginginkan adanya perubahan kehidupan yang lebih baik. Hal ini akan menjadi
masalah yang kompleks jika dikaitkan dengan tingkat kebutuhan buruh yang tidak
sesuai dengan tingkat upah yang mereka terima. Tingkat kebutuhan yang semakin
meningkat dan mahal harus dipenuhi dengan upah yang rendah. Pernyataan presiden
SBY dihadapan buruh di Surabaya bahwa kesejahteraan buruh sudah selayaknya
ditinggkatkan, “era buruh murah sudah berakhir”. Persoalan kesejahteraan buruh
yang terjadi dapat diatasi jika seluruh perusahaan melakukan pembicaraan dengan
sepenuh hati (Kompas 2 Mei 2013, 1). Pernyataan ini terkesan sebagai hiburan
semata bagi para buruh yang justru sebagian besar masih dibayar murah.
Sistem
pengupahan yang diatur oleh pemerintah yang dikenal dengan UMP/R memang dapat
dilihat sebagai bentuk perlindungan pemerintah pada buruh. Penentuanya
didasarkan pada kesepatan tiga pihak yakni buruh dan pengusaha serta pemerintah
sebagai pihak penengah. Proses penentuan ini sering mengalami perdebatan dan ketegangan
karena perbedaan persepsi antara perusahaan dan buruh[3]. Persoalan juga muncul ketika apa yang sudah
diputuskan dewan pengupahan tidak dilaksanakan oleh pihak perusahaan. Upah
minimum Provinsi DKI Jakarta misalnya telah di tetapkan namun ada beberapa
perusahaan yang bergerak di sektor tesktil, garmen dan alas kaki, dengan
persetujuan pemerintah (Memperin) menunda pelaksanaan UMP ini (Kememperin
Website 2013)
Menurut
UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dalam pasal 88 ayat (4) Penentuan
upah minimum ini didasarkan pada survei terhadap kebutuhan hidup layak (KHL)
disetiap regional (Provinsi/kabupatan/kota). KHL adalah standar kebutuhan yang
harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik
secara fisik, non fisik dan sosial untuk kebutuhan 1 (satu) bulan (Permenakertrans
Nomor PER-17/MEN/VIII/2005 Pasal 1). Namun masih ada
kabupaten yang menetapkan UMK dibawah KHL. Salah satu contohnya adalah
Kabupaten Kudus. Survei KHL menunjukkan angka Rp. 1.051.000,- namun UMK yang
ditetapkan Rp. 9.900.000,-.
Persoalan upah tidak hanya sampai disitu, ada
juga kasus tentang penahanan atau penunggakan upah/gaji pekerja. Penunggakan
ini bahkan merambah ke dunia sepakbola
profesional. Ada banyak klub yang menahan dan menunggak gaji pemain dengan
alasan klub yang dikelola sebagai Perusahaan Terbatas tidak memiliki dana.
Pertanyaanya bukankah diawal mereka telah menyepakati gaji pemain? Kemudian mau
dikemanakan hidup pemain dan keluarganya? Apa tindakan pemerintah?
Beberapa
persoalan di atas bukan hanya persoalan ekonomi tetapi juga persoalan keadilan
dan persoalan teologi, sebab Alkitab dengan jelas menekankan pembayaran upah
yang akurat, tepat waktu dan sesuai kesepakatan. Upah pekerja haruslah sesuai
dengan kebutuhan harian mereka. Dan harus ada aturan yang tegas melindungi
persoalan mereka dari tindakan eksploitasi. Eka Darma Putera mengatakan ketika
majikan membayarkan upah jauh dibawah kewajaran, misalnya dengan dalih yang
bersangkutan (pekerja/buruh) sendiri tidak keberatan menerimanya. Ini pada
hakikatnya adalah “mencuri”, bahkan “membunuh” hak orang untuk hidup layak
(Darmaputera 2005, 212). Dalam hal ini, gereja
yang mewarisi ajaran Alkitab harusnya ikut menyuarakan keadilan upah dan bukan
hanya menjadi penonton.
Menarik
mendengar seruan Paus Fransiskus yang dengan tegas mengecam persoalan upah yang
terjadi di Bangladesh. Paus mengaku terkejut ketika mengetahui sebagian pekerja
hanya dibayar 38 euro atau Rp 490.000 per bulan. Dalam kecamannya Paus
menganggapnya sebagai bentuk perbudakan. Paus juga mengatakan dengan terbuka “"Tidak membayar upah yang adil, tidak memberikan
pekerjaan karena Anda hanya melihat neraca keuangan, untuk mencari keuntungan,
adalah hal yang bertentangan dengan Tuhan," (Kompas Website 2013). Jika
Paus tergerak hatinya menyerukan suara Tuhan akan ketidakadilan upah jauh dari
tempatnya, maka gereja Indonesia pun seharusnya mengambil sikap yang sama.
Bergerak dan bertindak sebagai agen transformasi menuju keadilan. Melakukan
pembinaan bagi kedua belah pihak yang sama-sama menjadi anggota gereja dan
menyuarakan dukungan pada kaum lemah di bumi persada ini.
Daftar
Acuan
Kamus
Tim
Penyusun Kamus. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
-------------.
1995. Oxford advanced Learner’s Dictionary ed V. Oxford University Press
Myers, Allen C (ed). 1987. The Eerdmans Bible Dictionary. Grand
Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, s.v. Wages
Kamus
Tim Penyusun Kamus. 1994. Kamus besar
bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Botterweck, Johanes G. 2004. Theological
Dictionary of The Old Testament Vol XIV. Grand Rapids, Michigan: William B.
Eedrmans Publising Company. s.v sakar
-------------. 1995. Oxford advanced
Learner’s Dictionary ed V. Oxford University Press
Buku
Bolan,
B.J. 2008. Tafsiran Alkitab Injil Lukas. Jakarta: BPK Gunubg Mulia
Bracke,
Jhon M. 2000. Jeremiah 1-29. Louisville: Westminster Jhon Knox Press
Christensen,
Duane L.2002. World Biblical Commentary
Vol 6b Deuteronomy 21:10-34:12. Dallas: Thomas Nelson
Darmaputera,
Eka. 2005. Sepuluh Perintah Allah
Museumkan saja? Sebuah uraian popular tentang relevansi Dasa Titah di masa kini.
Yogyakarta:Gloria Graffa
Harun,
Martin. 2007. Upah yang Kamu Tahan dari
Buruh. Dalam Forum Biblika No. 21 (2007) hlm 23-33
Herr,
J.J. De. 1996. Tafsiran Alkitab Injil
Matius. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hiers,
Richard H. 2009. Justice and Compassion
in Biblical Law. New York: Continuum
Hartley,
Jhon E. 1992. World Biblical Commentary
Vol 4: Leviticus 1-27.Texas: Word Book Publisher
Martin,
Ralph P. 1988. World Biblical Commentary: James.
Texas: Word Book Publisher
Moo,
Douglas J. 1986. Tyndale New Testament
Commentaries: James. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company
Paterson,
Robert M. 1997. Tafsiran Alkitab Kitab Imamat. Jakarta: BPK-GM
Smith,
Robert H.1989. Augsburg Commentary on the
New Testament: Mattew. Minneapolis: Augsburg Publishing House
Vaux,
Roland de. 1965. Ancient Israel Vol I
Sosial Institution. New York: McGraw-Hill Book Company
Makalah
Seminar
Barus,
Armand. 2008. Solidaritas Sosial Gereja.
Ceramah, Konsultasi Nasional Institue Leimena, Cisarua 19-20 Desember
Website
di Internet
Kememperin.
Tiga Sektor Industri dapat Penangguhan UMP DKI. http://www.kemenperin.go.id/artikel/5108/Tiga-Sektor-Industri-Dapat-Penangguhan-UMP-DKI
(diakses 16 Mei 2013)
Kompas. Paus mengecam perbudakan di
Bangladesh. http://internasional.kompas.com/read/2013/05/02/09422935/Paus.Mengecam.Perbudakan.di.Banglades?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Ktswp diakses 16 mei 2013
[1] Dalam PL praktek yang
demikian telah dicela misalnya dalam kecaman Yesaya “Celakalah mereka yang
menyerobot rumah demi rumah dan mencekau ladang demi ladang, sehingga tidak ada
lagi tempat bagi orang lain dan hanya kamu sendiri yang tinggal di dalam negeri
(Yes 5:8)
[2] Kejahatan yang
demikian juga sudah dikecam dalam PL (lihat penjelasan Ul 24:14 di atas)
[3] Inti perdebatan, dari
sisi buruh, terletak pada ketidakcukupan upah untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan di sisi pengusaha kenaikan upah setiap tahun dirasakan memberatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar