Jumat, 23 Oktober 2015

Pemahaman Upah Dalam Alkitab (sebuah catatan sederhana)


Pendahuluan
Upah dalam dunia kerja senantiasa menjadi topik yang hangat. Penentuan upah sering menjadi persoalan yang sulit untuk disepakati oleh pihak yang bersangkut paut. Pemberian UMR sebagai ukuran minimun pengupahan sering menjadi diskusi yang alot antara buruh, pengusaha, dan pemerintah. UMR di setiap provinsi tidak sama bergantung pada produktifitas dan biaya hidup di provinsi tersebut. Upah tentu berkaitan dengan kesejahteraan dan produktifitas kerja buruh/pekerja. Artikel ini akan mencoba melihat pemahaman upah secara teologis biblis ditinjau dari PL dan PB. Beberapa pokok yang menjadi perhatian dalam paper ini adalah: (1) apakah pemahaman upah dalam Alkitab; (2) proses penentuan dan peraturan tentang upah dalam Alkitab; dan (3) persoalan apakah yang muncul berkaitan dengan upah dalam Alkitab dan bagaimana penanggulannya. Dibagian akhir, secara singkat akan diuraikan persoalan upah di Indonesia saat ini.
Upah Secara Umum
Dalam KBBI upah didefenisikan sebagai uang dan lain sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu; gaji; imbalan. Upah minimum adalah upah paling rendah yang menurut undang-undang atau persetujuan serikat buruh yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada karyawan (Tim Penyusun KBBI 1994, s.v. upah, 1108). Sementara kamus Oxford mendefenisikannya sebagai pembayaran reguler (mingguan,harian, atau bulanan) yang diberikan atau diterima untuk perkerjaan/ jasa  atau pembayaran reguler biasanya setiap bulan kepada karyawan yang melakukan pekerjaan secara khusus yang bererja profesional atau pekerja kantor (Oxford Dictionary 1995, s.v. salary and wage , 1037,1335). Dalam Bible Dictionary, upah (Ibr. Sakar, Yun. Misthos) didefenisikan sebagai kompensansi/pembayaran, biasanya dalam bentuk uang, yang diberikan kepada seseorang sebagai bayaran atas jasa atau kerja (Eerdmans Bible Dictionary, s.v. wages,1043). Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa upah adalah uang dan lain sebagainya yang dibayarkan sebagai balasan jasa atau tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu dalam rentang waktu tertenu dan berdasarkan kesepakatan bersama.
Upah dalam Perspektif PL
Istilah upah (רכש/sakar) dalam dalam PL berasal dari kata skr yang dapat ditemukan dalam bahasa Ibrani, Fenisia, Aram, Arab, dan Etopia. Sebagai kata kerja skr berarti “melibatkan, mengaji,” seseorang untuk aktivitas tertentu. Misalnya raja Moab membayar Bileam mengutuk Israel (UL 23:5; Neh 13:2; bnd Bil 22:5ff); Abimelek memberi upah kepada para petualang yang mau bergabung dan mengikutinya (Hak 9:4), Mika mengupah seseorang untuk menjadi imam baginya sebesar sepuluh uang perak, sepasang pakaian dan makanan setiap tahunnya (Hak 17:10, 18:4); dan lain-lain. Dalam Septuaginta kata ini diterjemahkan menjadi misthoun. Sebagai kata benda sakir, seker atau sakar. Seker berarti “imbalan, upah”, muncul hanya di Yesaya 19:10 dan Amsal 11:18. Sakar muncul sebanyak 28 kali dengan makna “upah” atau harga yang dibayarkan pada pekerja untuk melakukan pekerjaan tertentu seperti perawat bayi (Kel 2:9),  tukang kayu (1 Raj 5:6), gembala (Zak 11:12), pekerja harian (Ul 15:18), dan imam  (orang lewi) dibait Allah (Bil 18:32), dan lain-lain. Secara metapora sakar menunjuk pada harga dari sebuah kemenangan (Yes 40:10; 62:11), rampasan militer (Yeh 29:18-19) dan juga sebagai imbalan kesetiaan pada YHWH (II Taw 15:7). Makna substantif lain “upah, imbalan” adalah maskoret (תרכשמ). Dalam Kej 29:15;31:7, 41 maskoret merujuk pada upah bagi Yakub yakni dua putri Laban dan ternaknya. Ekspresi itu juga muncul dalam Ruth 2:12, dimana kata itu merujuk pada imbalan Ruth. (Theological Dictionary of The Old Testament Vol. XIV, s.v. sakar, 131-133)
Masyarakat Israel pada fase awal dan masih hidup nomaden tidak terbiasa bekerja upahan dan bahkan pada masa awal pendudukan tanah Kanaan pun demikian. Setiap keluarga punya tanah dan mengerjakannya untuk bertahan hidup. Namun, seiring perjalanan waktu yang diikuti perkembangan perekonomian, perdagangan dan kontak dengan pihak luar, terbentuklah kelas-kelas ekonomi dalam masyarkat. Dengan munculnya kelas-kelas masyarakat ini maka pekerja yang digaji/diupah pun berkembang dengan keahlian yang beragam. Sebagai imbalan mereka diupah dengan perak atau perunggu (Eerdmans Bible Dictionary, s.v. wages, 1043). Gerakan mencekau tanah pada abad 8 SM (Yes 5:8) menggusur banyak pemilik tanah dari tanah pusakanya, dan membiarkan mereka ditimpa utang yang hanya dapat dilunasi dengan jalan menjadi hamba pekerja (2 Raj 4:1). Seiring perjalanan waktu, beberapa keluarga bertumbuh makin miskin dan kehilangan tanah mereka, dan sejajar dengan itu peningkatan pekerja di Israel terjadi yang mengharuskan mereka berkerja untuk di upah (Ul 24:24) (Vaux 1965, 76).

Jumlah dan Proses Penentuan Upah
Di Mesopotamia, pekerja di upah baik dengan uang atau dalam bentuk natura. Berdasarkan kode Hammurabi mereka diupah satu syikal perak perbulan selama musim kerja keras, dan bahkan lebih murah disisa tahun (Vaux 1965, 76). Namun, PL tidak memberikan informasi langsung mengenai jumlah upah para pekerja kecuali imam yang melayani Mika (Hak 17:10) dan dalam pemahaman yang lebih umum dalam kasus para pahlawan yang gagah perkasa yang dibayar raja Amazia (2 Taw 25:6) (TDOT, 132). Meski jumlah upah dalam PL tidak ditentukan numun upah para pekerja yang akan dibayar ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi kerja dengan pekerja. Para budak, orang bebas yang dibayar untuk pekerjaan tertentu, selama waktu tertentu dengan gaji yang sudah disepakati. Pada masa berikutnya, hampir semua perkerja di bidang pertanian diupah dengan cara ini. Penduduk asli atau pendatang asing juga diupah atas jasa dan kerja mereka dengan metode ini (Kel 12:45; Im 22:10; Ul 24:14). Mereka bekerja sebagai gembala, pemanen atau pengumpul anggur. Mereka mungkin diupah perhari (Im 19:13; Ul 24:15; bnd Mat 20:8), atau tahunan (Im 25:50,53; Yes 16:14; 21:16) (Vaux 1965, 76).
Salah satu contoh paling jelas adalah kesepakatan antara Yakub dan Laban yang membuat ikatan kerja dengan upah (תרכשמ /maskoret) yang pasti (Kej 29:15-28; 30:32-43; 31;7).  Kesepakatan pertama, Laban mengingkari kesepakatan dengan menipu Yakub, Rahel yang seharusnya menjadi Istri Yakub sebagai upahnya bekerja selama tujuh tahun diganti dengan Lea. Laban dengan kuasanya menawarkan klausul baru  dan mereka sepakat lagi untuk memulai masa kerja yang baru. Pada kesempatan ketiga, Yakub sendirilah yang menawarkan klausul kesepakatan untuk mereka lakukan. Laban masih tetap mau menipu Yakub namun Allah tidak membiarkannya. Perlindungan dan campur tangan Allah dapat  dilihat dari komentar Yakub “Tetapi ayahmu telah berlaku curang kepadaku dan telah sepuluh kali mengubah upahku, tetapi Allah tidak membiarkan dia berbuat jahat kepadaku” (Kej 31:7). Dari kisah Yakub, setiap pemberi kerja harus tahu dan sadar bahwa Tuhan Allah peduli akan nasib dan masa depan para tenaga kerja. Pemberi kerja dan penerima seharusnya senantiasa jujur.
Perlindungan Terhadap Pekerja Berkaitan Dengan Upah
PL dengan jelas menentang ketidakadilan dan memberikan beragam hukum untuk melindungi orang lemah dari penindasan/praktek ketidakadilan. Hukum yang melindungi orang upahan dan hamba. Seorang Israel yang karena kemiskinan terpaksa menjual dirinya menjadi hamba, harus dianggap berstatus pekerja, lalu dibebaskan pada tahun ketujuh dan atau pada tahun Yobel dengan memberinya bekal sebagai upahnya (Ul 15:12-18; Im 25:39-5). Setiap keluarga yang mempekerjakan pembantu dan pekerja lain, baik Yahudi maupun bukan Yahudi, tidak boleh menahan upahnya melainkan harus dibayar pada hari yang sama ketika pekerjaanya selesai (Im 19:13; Ul 24:14-15). Hal ini menunjukkan bahwa budak dan pekerja upahan dilindungi dari eksploitasi. Majikan dilarang mengeruk keuntungan dari ketidakmampuan pekerjanya untuk menentangnya (Hiers 2009, 183-184).
Kenyataan ini akan semakin jelas jika kita mencoba sedikit lebih mendalami teks Ul 24:14-15. Teks ini berada dalam rangkaian hukum yang terbantang dari 24: 5-25:19. Kedua ayat ini termasuk dalam hukum perlindungan terhadap sesama manusia khususnya perlindungan terhadap orang miskin yang dalam kitab Ulangan mencakup anak yatim, janda, dan orang asing (Ul 24:14-22). Kedua ayat ini adalah hukum yang melindungi pekerja upahan dari penganiayaan dan tindakan semenamena. Teks ini memiliki struktur kiamus seperti berikut:
A         Janganlah engkau memeras pekerja harian yang miskin dan menderita,
B              baik ia saudaramu maupun seorang asing yang ada di negerimu, di dalam     tempatmu.
X                     Pada hari itu juga haruslah engkau membayar upahnya sebelum matahari terbenam;
A’              ia mengharapkannya, karena ia orang miskin;
B’        supaya ia jangan berseru kepada TUHAN mengenai engkau dan hal itu menjadi dosa bagimu.
 Berdasarkan strukturnya, pusat dari hukum ini adalah anjuran untuk membayarkan upah (רכש/sakar) tepat pada waktunya sebelum matahari terbenam (15a) atau setelah seseorang selesai melakukan pekerjannya pada hari itu. Hal itu menjadi penting karena mereka miskin dan mengharapkannya. Artinya, mereka membutuhkannya dan bergantung pada upah tersebut untuk dapat melanjutkan hidupnya. Seorang penafsir, Craige, mengatakan digunakannya hukum ini dalam PB (Yak 5:4) membuat jelas bahwa hukum ini tidak hanya melindungi pekerja yang miskin tetapi juga yang kaya, orang kaya yang memenuhi tanggungjawab mereka pada pekerjanya mempertahankan integritas komunitas mereka. Sebaliknya mereka akan dikutuk jika tidak melakukan kewajiban itu. Hukum ini juga dikutip dalam pengajaran Yesus dengan makna tambahan yakni kemurahan hati Allah dan ajaran bahwa kepuasan terdalam dalam pengalaman hidup tidak diperoleh melalui pemusatan dan pengumpulan kekayaan dan kuasa pada diri sendiri melalui eksplotasi pada pihak lain (Christensen 2002, 587-589). 
Imamat 19:13 lain lagi konteksnya,
Janganlah engkau memeras sesamamu manusia dan janganlah engkau merampas; janganlah kautahan upah seorang pekerja harian sampai besok harinya
Hukum ini berada dalam aturan dan ajaran untuk menjaga kekudusan hidup dalam segala aspek kehidupan sehari-hari. Bersama ayat 11-14; 17-18, 19-20, 29, 32-34,  ayat ini menganjurkan supaya semua orang berbuat dan berbicara secara jujur dan adil. Selain itu mereka dituntut menjaga serta menghormati hubungan antar pribadi dan mengasihi orang lain seperti diri sendiri. Mereka tidak bisa menipu, memeras atau merampas sesama manusia. Mereka harus membayar upah (ריכש/sakir) pekerja harian tanpa halangan, dan memelihara orang-orang cacat. Mencari laba dengan memperlakukan orang lemah dengan tidak adil menjadi dosa melawan Tuhan. Secara khusus ayat 13 ini terdiri dari tiga larangan yakni larangan memeras, merampas dan menahan upah. Praktek menahan upah pekerja harian menghalangi kemungkinan pekerja tersebut untuk membayar atau membeli makanan bagi keluarganya pada malam hari itu dan hari berikutnya (bnd Ul 24:14-15; Yer 22:13; Mat 20:8) ( Paterson 1997, 269 bnd Hartley 1992, 310-312,315).
Sikap Allah yang menentang ketidakadilan berkaitan dengan upah juga di suarakan para nabi.  Nabi-nabi mengecam para tuan yang mengambil untung dari para pekerjanya (Mal 3:5; Yer 22:13) (Eerdmans Bible Dictionary, s.v. wages, 1043). Yeremia mengecam dan menyerukan nubuatan celaka (berita kematian) atas ketidakadilan yang dilakukan raja Yoyakim yang mempekerjakan sesamanya tanpa memberikan upah. Yoyakim mengikuti kebiasaan umum para raja di Timur Dekat kuno yang memberlakukan kerja paksa untuk kepentingan/kekayaan dan kemewahan gaya hidup pribadinya sendiri. Dengan memperkerjakan sesamanya tanpa upah, Yoyakim telah merusak makna Israel sebagai umat yang merdeka melalui karya pembebasan Allah dari perbudakan Mesir. Dan hal ini adalah ketidakadilan yang dibenci Allah (Bracke 2000, 176-177)
Upah dalam Persfektif PB
Dalam PB sama seperti di PL, kata upah dapat bermakna etis dan religius yakni upah yang diberikan Allah atas ketaatan melakukan kehendakNya dan yang sungguh-sungguh mencariNya (bnd Mat. 5:12; Luk 6:23,35; Kol 3:24; Ibr 10:35; 11:6). Upah juga bermakna hukuman bagi mereka yang melanggar kehendak Allah. Upah dosa adalah maut, nasib buruk atau tersesat (Rom 6:23; 2 Pet. 2:13,15). Upah orang yang diselamatkan Kristus akan diterima mulai pada waktu ia hidup (2 Kor 5:5), dan akan diterima sepenuhya sesudah penghukuman nanti, ketika umat perjanjian menikmati hidup yang kekal dan melihat Allah untuk selamalamanya (Why 21;3) (Esiklopedia Alkitab Masa Kini, s.v.upah, 530). 
Bahasa Yunani untuk upah adalah misthos. Dalam septuaginta misthos dapat berarti sebagai upah yang biasanya bagi para pekerja manual, pembayaran imbalan terhadap jasa militer, pelayanan imam di bait suci, dan lain-lain. Dalam hal ekonomi,  Misthos berkaitan dengan pembayaran yang diberikan kepada pekerja karena pekerjaan yang sudah dilakukan (Luk 10:7 dan 1 Tim 5:18) .
Dalam PB hampir semua referensi tentang upah diambil dari bidang pertanian secara khusus  dalam perumpamaan dan pengajaran Yesus. Yesus menegaskan bahwa para pekerja layak mendapatkan upahnya (Luk 10;7), dan dalam perumpamaan penggarap di kebun anggur menggunakan upah sebagai indikasi dari keinginan Allah untuk bermurah hati (Eerdmans Bible Dictionary, s.v. wages, 1043). Dalam PB orang upahan, meski demikian, tidak hanya dalam bidang pertanian seperti pekerja di kebun anggur ( Mat 20:1,7) tetapi juga orang sebagai nelayan (Mrk 1:20) dan para gembala (Joh 10:12-13) (Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, s.v. upah, 529). Aturan umum bahwa setiap pekerja layak mendapatkan upah berkaitan juga dengan prinsip bahwa mereka yang memberitakan injil, harus hidup dari pemberitaan injil itu (1 Kor 9:14; 2 Kor 11:8; 1 Tim 5:18). Hal ini harus diingat jemaat, tetapi janganlah sekali-kali berkhotbah atau mengajar demi uang/upah (Tit 1:7; I Pet 5:2) (Bolan 2008, 213-214).
Penentuan Upah
Sama seperti dalam PL, penetapan upah dalam PB dilakukan dengan kesepatakan bersama antara pemberi kerja dan pekerja. Gambaran yang paling jelas dapat dilihat dalam perumpamaan Yesus tentang orang-orang upahan di kebun anggur (Mat 20:1-16). Perumpamaan Yesus ini merupakan bentuk perlawanan terhadap penahanan upah dan pemusatan kekayaan dan tanah pada segelintir orang, serta sebagai ilustrasi dan ajaran untuk  membayar upah pekerja tepat waktu dan sesuai kesepakatan (Moo 1986, 163). Pembayaran upah pada hari itu juga mengikuti hukum dalam Ulangan 24:15 dan Imamat 19:13 yang sudah dibahas di atas. Perumpamaan ini menunjukkan bahwa para perkeja pertanian yang miskin muncul diperempatan jalan/pasar setiap pagi dengan harapan akan ada yang mengaji mereka. Berharap imbalan atas energi dan kemampuan mereka untuk sekeping perak untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya yakni makanan, pakaian dan tempat berteduh. Upah diberikan berdasar kesepakatan dua belah pihak sebelum bekerja. Di pagi hari sang tuan sepakat dengan beberapa orang dengan upah satu dinar (ay 2). Pada masa itu satu dinar adalah pendapatan/upah harian minimum sehari yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan keluarga (Smith 1989, 236). Tuan menunjukkan keadilan dengan membayar setiap orang tanpa ada yang dirugikan.
Pemberian upah yang sama kepada pekerja yang datang belakangan sebagai bentuk kemurahan hati sang tuan. Kemurahan hati sang tuan sudah mulai kelihatan saat ia memberi pekerjaan pada lima kelompok pekerja yang masuk dalam waktu yang berbeda. Kemurahan hati itu harus dilihat para pekerja, itulah sebabnya urutan pembayaran gaji dimulai dari yang masuk belakangan. Dalam teks ini kemurahan hati sang tuan yang menyetarakan para pekerjanya menimbulkan rasa iri dan protes dari pekerja yang masuk duluan. Menjawab protes itu, sang tuan memulai penjelasannya dengan menyapa mereka sebagai ‘saudara’ (ayat 13). Kata saudara ini merupakan terjemahan kata hetaire –e`tai/re yang dapat diterjemahkan sebagai kawan. Kata kawan atau saudara digunakan terhadap orang lain yang tidak diketahui namanya sebagai sapaan hormat (Matius 22:12;26:50). Sapaan yang memperlihatkan rasa hormat dan bukannya suatu celaan. Meski diprotes pekerjanya sang tuan tetap menghormati
pekerjanya (Barus 2008, 7-10).  Meski perumpamaan ini dapat diartikan secara alegoris dan menunjuk pada pekerjaan umat percaya dalam ladang Allah, tetapi tidak dapat disangkal bahwa perumpamaan ini juga memberi gambaran pemberian upah yang adil, akurat dan tepat waktu sesuai dengan aturan dalam PL (UL 24:15.0) (Heer 1996, 391-392)
Respon Allah terhadap ketidakadilan soal upah (Relasi buruh-majikan)
Dalam Injil, sudah ditunjukkan bahwa Yesus mengajarkan bahwa setiap pekerja layak mendapatkan upah. Para pekerja itu dibayar dengan selayaknya dan adil  sesuai dengan kesepakatan (Mat 20). Jika ada tuan yang berlaku tidak adil terhadap buruh/pekerjanya maka Allah akan berada dipihak buruh mentang perilaku tersebut. Surat Yakobus dapat ditunjuk menjadi salah satu surat yang sarat akan hikmat dan nasihat praktis, memberikan perhatian yang besar terhadap orang miskin yang disingkirkan dan peringatan yang keras terhadap orang sombong yang suka menindas (Yak 4:13-17) serta penentangan terhadap diskriminasi (Yah 2:1-13). Salah satu kecaman Yakobus kepada orang kaya berkaitan dengan ketidakadilan yang dialami kaum buruh dapat dilihat dalam Yakobus 5:1-6. Perikop ini berisi peringatan kepada orang kaya dan teriakan buruh tani.
Masalah atau konteks yang melatarbelakangi kisah ini adalah kepemilikan atau penguasaan lahan yang terkonsentrasi di tangan sedikit orang dan menjadi beban berat bagi buruh tani. Yakobus menampilkan orang kaya sebagai pelaku dua macam kejahatan yakni hidup mewah (ay 2-3) dan penindasan (4-5). Sama seperti nabi-nabi Israel (Yesaya, Mika dan Amos), Yakobus dalam tegurannya sangat tegas dan pahit terhadap ketidakadilan ekonomi yang diakibatkan penahanan upah dan penolakan pemberian imbalan yang sesuai dengan jerih  payah pekerjanya (bnd Yer 22:13; Mal 3:5;  dll) (Martin1988, 175)
Yakobus mengecam orang kaya dan mengingatkan bahwa hidup mewah mereka bukan hanya tak bertahan tetapi juga akan membawa kehancuran bagi mereka. Semua kemewahan yang  tidak wajar itu menjadi bukti melawan mereka yang menyebabkan mereka ditolak Tuhan dalam pengadilan terkhir (Ay 3). Dalam ayat 4 Yakobus memihak pada buruh tani yang ditindas orang kaya. Para petani kecil dari awal sudah sulit bersaing dengan tuan-tuan tanah yang umumnya hidup jauh di kota dan selalu dalam posisi unggul karena luasnya lahan, kemajuan, teknologi, penguasaan pasar, dan kolusi dengan kaum berkuasa. Seiring perjalanan waktu, petani kecil terpaksa meminjam uang dari tuan tanah dan akhirnya tak dapat membayar bunganya yang tinggi dan mengembalikana utangnya. Lalu, tanahnya diambil alih orang kaya[1]. Hal ini berakibat para petani kecil ini menjadi buruh tani kalau bukan jadi budak. Banyaknya tenaga kerja yang tersedia malahan membuat posisi mereka semakin lemah dan tidak mampu menuntut haknya. Mereka menderita dari hari ke hari, sementara tuan tanah dengan semaunya dapat menahan upah harian[2] mereka. (Harun 2007, 28-29 bnd Martin1988,173-175).
Karena kaum buruh ini tidak dapat mengajukan protes pada majikannya, mereka hanya dapat berteriak kepada Tuhan yang mendengar keluhan mereka.
“Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu” (Yak 5:4)
Derita kaum buruh yang dipandang enteng oleh majikannya merupakan perkara besar di mata Tuhan semesta alam. Teriakan karena penahanan upah (misthos) telah sampai ke telinga Tuhan. Bentuk perfek (telah sampai) merujuk pada dua hal yakni teriakan mereka telah didengar oleh Allah dan hukuman terhadap orang kaya akan dimulai. Keluhan dan teriakan pekerja dalam hal ini adalah kombinasi antara penderitaan yang berkaitan dengan kelaparan dan kehendak supaya Allah bertindak membela anak-Nya (bnd Kej 4:10; 18:20; Luk 18:17; Why 6:9-10 dll)  (Martin1988,179). Sirakh 34:22 telah menyamakan hal menahan upah seorang pekerja harian dengan pembunuhan dan pencurahan darah. Yakobuspun menuduh ” Kamu telah menghukum, bahkan membunuh orang yang benar dan ia tidak dapat melawan kamu” (Ay 6) ( Harun 2007, 30). Sesungguhnya dengan melihat konteks para pekerja itu, pembayaran upah yang tepat waktu sangat penting dan mereka butuhkan untuk menyediakan makanan harian baginya dan keluarganya. Dengan demikian kegagalan atau ketidakmauan membayar upah tepat pada waktunya dapat membahayakan kehidupan itu sendiri (Moo 1986, 164).
Dari pemaparan di atas kelihatanlah bahwa upah dalam pemahaman Alkitab (PL dan PB) berkaitan dengan keberlangsungan kehidupan. Upah memiliki makna etis dan religius sebagai dampak (hadiah atau hukuman) dari Allah pada umatNya. Secara ekonomi upah adalah sesuatu yang harus dibayarkan sebagai imbalan dari jasa atau tenaga yang diberikan seseorang kepada pihak lain. Upah tidak boleh ditahan atau tidak diberikan sebab akan membahayakan kehidupan dan bagi Allah hal itu sebagai ketidakadilan. Kecaman Alkitab terhadap ketidakadilan upah tidak hanya pada upah itu saja tetapi lebih pada kelangsungan hidup pekerja dan keluarganya. Penetapan upah dalam PL dan PB dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pihak yang terlibat. Kesepakatan dilakukan di awal dan barang siapa yang tidak melakukan kesepakatan akan dihukum. Alkitab memberi perlindungan pada para pekerja upahan. PB menunjukkan jumlah minimal upah satu Dinar sehari yang dapat dipakai untuk membiayai kebutuhan pokok pekerja dan keluarganya dalam sehari. Hukum pemberian gaji pada waktu yang tepat dengan jumlah yang akurat itu juga terdapat dalam PL yang diikuti dalam PB. Oleh karena itu secara teologis upah minimum adalah upah yang memungkinkan pekerja membiayai hidupnya dan keluarga selama sehari.
Pesoalan Upah masa kini
Isu upah di Indonesia senantiasa menjadi persoalan yang kompleks. Upah merupakan persoalan eksistensial yang penting bagi buruh. Setiap tahunnya tuntutan-tuntutan dan aspirasi buruh selalu diteriakkan lewat media perjuangan buruh yaitu melalui serikat-serikat pekerja/buruh yang mewakili kepentingan mereka. Perbaikan kesejahteraan buruh menjadi tuntutan utama para buruh yang menginginkan adanya perubahan kehidupan yang lebih baik. Hal ini akan menjadi masalah yang kompleks jika dikaitkan dengan tingkat kebutuhan buruh yang tidak sesuai dengan tingkat upah yang mereka terima. Tingkat kebutuhan yang semakin meningkat dan mahal harus dipenuhi dengan upah yang rendah. Pernyataan presiden SBY dihadapan buruh di Surabaya bahwa kesejahteraan buruh sudah selayaknya ditinggkatkan, “era buruh murah sudah berakhir”. Persoalan kesejahteraan buruh yang terjadi dapat diatasi jika seluruh perusahaan melakukan pembicaraan dengan sepenuh hati (Kompas 2 Mei 2013, 1). Pernyataan ini terkesan sebagai hiburan semata bagi para buruh yang justru sebagian besar masih dibayar murah.
Sistem pengupahan yang diatur oleh pemerintah yang dikenal dengan UMP/R memang dapat dilihat sebagai bentuk perlindungan pemerintah pada buruh. Penentuanya didasarkan pada kesepatan tiga pihak yakni buruh dan pengusaha serta pemerintah sebagai pihak penengah. Proses penentuan ini sering mengalami perdebatan dan ketegangan karena perbedaan persepsi antara perusahaan dan buruh[3].  Persoalan juga muncul ketika apa yang sudah diputuskan dewan pengupahan tidak dilaksanakan oleh pihak perusahaan. Upah minimum Provinsi DKI Jakarta misalnya telah di tetapkan namun ada beberapa perusahaan yang bergerak di sektor tesktil, garmen dan alas kaki, dengan persetujuan pemerintah (Memperin) menunda pelaksanaan UMP ini (Kememperin Website 2013)
Menurut UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dalam pasal 88 ayat (4) Penentuan upah minimum ini didasarkan pada survei terhadap kebutuhan hidup layak (KHL) disetiap regional (Provinsi/kabupatan/kota). KHL adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial untuk kebutuhan 1 (satu) bulan (Permenakertrans Nomor PER-17/MEN/VIII/2005 Pasal 1). Namun masih ada kabupaten yang menetapkan UMK dibawah KHL. Salah satu contohnya adalah Kabupaten Kudus. Survei KHL menunjukkan angka Rp. 1.051.000,- namun UMK yang ditetapkan Rp. 9.900.000,-.
 Persoalan upah tidak hanya sampai disitu, ada juga kasus tentang penahanan atau penunggakan upah/gaji pekerja. Penunggakan ini bahkan merambah  ke dunia sepakbola profesional. Ada banyak klub yang menahan dan menunggak gaji pemain dengan alasan klub yang dikelola sebagai Perusahaan Terbatas tidak memiliki dana. Pertanyaanya bukankah diawal mereka telah menyepakati gaji pemain? Kemudian mau dikemanakan hidup pemain dan keluarganya? Apa tindakan pemerintah?
Beberapa persoalan di atas bukan hanya persoalan ekonomi tetapi juga persoalan keadilan dan persoalan teologi, sebab Alkitab dengan jelas menekankan pembayaran upah yang akurat, tepat waktu dan sesuai kesepakatan. Upah pekerja haruslah sesuai dengan kebutuhan harian mereka. Dan harus ada aturan yang tegas melindungi persoalan mereka dari tindakan eksploitasi. Eka Darma Putera mengatakan ketika majikan membayarkan upah jauh dibawah kewajaran, misalnya dengan dalih yang bersangkutan (pekerja/buruh) sendiri tidak keberatan menerimanya. Ini pada hakikatnya adalah “mencuri”, bahkan “membunuh” hak orang untuk hidup layak (Darmaputera 2005, 212). Dalam hal ini, gereja yang mewarisi ajaran Alkitab harusnya ikut menyuarakan keadilan upah dan bukan hanya menjadi penonton.
Menarik mendengar seruan Paus Fransiskus yang dengan tegas mengecam persoalan upah yang terjadi di Bangladesh. Paus mengaku terkejut ketika mengetahui sebagian pekerja hanya dibayar 38 euro atau Rp 490.000 per bulan. Dalam kecamannya Paus menganggapnya sebagai bentuk perbudakan. Paus juga mengatakan dengan terbuka  "Tidak membayar upah yang adil, tidak memberikan pekerjaan karena Anda hanya melihat neraca keuangan, untuk mencari keuntungan, adalah hal yang bertentangan dengan Tuhan," (Kompas Website 2013). Jika Paus tergerak hatinya menyerukan suara Tuhan akan ketidakadilan upah jauh dari tempatnya, maka gereja Indonesia pun seharusnya mengambil sikap yang sama. Bergerak dan bertindak sebagai agen transformasi menuju keadilan. Melakukan pembinaan bagi kedua belah pihak yang sama-sama menjadi anggota gereja dan menyuarakan dukungan pada kaum lemah di bumi persada ini.
Daftar Acuan
Kamus
Tim Penyusun Kamus. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
-------------. 1995. Oxford advanced Learner’s Dictionary ed V. Oxford University Press
Myers, Allen C (ed). 1987. The Eerdmans Bible Dictionary. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, s.v. Wages

Kamus
Tim Penyusun Kamus. 1994. Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Botterweck, Johanes G. 2004. Theological Dictionary of The Old Testament Vol XIV. Grand Rapids, Michigan: William B. Eedrmans Publising Company. s.v sakar
-------------. 1995. Oxford advanced Learner’s Dictionary ed V. Oxford University Press
Buku
Bolan, B.J. 2008. Tafsiran Alkitab Injil Lukas. Jakarta: BPK Gunubg Mulia
Bracke, Jhon M. 2000. Jeremiah 1-29. Louisville: Westminster Jhon Knox Press
Christensen, Duane L.2002. World Biblical Commentary Vol 6b Deuteronomy 21:10-34:12. Dallas: Thomas Nelson
Darmaputera, Eka. 2005. Sepuluh Perintah Allah Museumkan saja? Sebuah uraian popular tentang relevansi Dasa Titah di masa kini. Yogyakarta:Gloria Graffa
Harun, Martin. 2007. Upah yang Kamu Tahan dari Buruh. Dalam Forum Biblika No. 21 (2007) hlm 23-33
Herr, J.J. De. 1996. Tafsiran Alkitab Injil Matius. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hiers, Richard H. 2009. Justice and Compassion in Biblical Law. New York: Continuum
Hartley, Jhon E. 1992. World Biblical Commentary Vol 4: Leviticus 1-27.Texas: Word Book Publisher
Martin, Ralph P. 1988. World Biblical Commentary: James. Texas: Word Book Publisher
Moo, Douglas J. 1986. Tyndale New Testament Commentaries: James. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company
Paterson, Robert M. 1997. Tafsiran Alkitab Kitab Imamat. Jakarta: BPK-GM
Smith, Robert H.1989. Augsburg Commentary on the New Testament: Mattew. Minneapolis: Augsburg Publishing House
Vaux, Roland de. 1965. Ancient Israel Vol I Sosial Institution. New York: McGraw-Hill Book Company
Makalah Seminar
Barus, Armand. 2008. Solidaritas Sosial Gereja. Ceramah, Konsultasi Nasional Institue Leimena, Cisarua 19-20 Desember

Website di Internet
Kememperin. Tiga Sektor Industri dapat Penangguhan UMP DKI. http://www.kemenperin.go.id/artikel/5108/Tiga-Sektor-Industri-Dapat-Penangguhan-UMP-DKI (diakses 16 Mei 2013)




[1] Dalam PL praktek yang demikian telah dicela misalnya dalam kecaman Yesaya “Celakalah mereka yang menyerobot rumah demi rumah dan mencekau ladang demi ladang, sehingga tidak ada lagi tempat bagi orang lain dan hanya kamu sendiri yang tinggal di dalam negeri (Yes 5:8)
[2] Kejahatan yang demikian juga sudah dikecam dalam PL (lihat penjelasan Ul 24:14 di atas)
[3] Inti perdebatan, dari sisi buruh, terletak pada ketidakcukupan upah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan di sisi pengusaha kenaikan upah setiap tahun dirasakan memberatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar