Jika ditanyakan apakah peristiwa
yang menurut anda paling menakutkan? mungkin ada yang menjawab menanti hasil
ujian, yang lain menjawab menunggu proses lahiran anak yang sudah lama dinanti,
atau ketika mendengar vonis dokter bahwa anda menderita kanker, atau anda akan
menjawab menunuggu eksekusi mati, dll. Semua jawaban ini sesungguhnya memiliki
kebenarannya masing-masing. Namun mungkin kita sepakat bahwa salah satu yang
paling menakutkan adalah menunggu saat-saat kematian apalagi jika waktu dan
cara kematian itu kita ketahui. Ada banyak pasien di rumah sakit atau sudah
dibawa pulang ke rumah "berstatus" sebagai pasien yang menunggu
kematian atau pasien yang hampir meninggal dunia, entah dalam keadaan masih
sadar atau tidak sadar. Untuk pasien yang seperti ini diperlukan pelayanan
psikilogis dan pastoral untuk mempersiapkan mereka menerima kenyataan bahwa ia
akan mengakhiri hidupnya. Mungkinkah kita bisa menduga apa dan bagaimana
perasaan mereka yang sudah menunggu ajal ini?
Elisabeth Kubler Ross - seorang
dokter dan psikiatri - sambil melayani para pasien hampir meninggal dunia
melakukan riset tentang pergumulan jiwa orang yang akan menghadapi ajal. Dalam
bukunya yang berjudul On Death and Dying
- sebagaimana dikutip oleh Andar Ismail dalam bukunya selamat berjuang - ada lima kemungkinan tahap perasaan menjelang
ajal. Pertama, penyangkalan, saat kita menolak datangnya maut. Kedua, marah.
Ketiga, penawaran, saat kita berjanji untuk berperilaku lebih baik lagi jika
umur diperpanjang. Keempat, depresi karena ternyata kematian makin mendekat.
Kelima, rasa damai saat kita menerima kenyataan dan berserah. Kelima tahap ini
bisa juga terjadi pada keluarga yang kekasihnya baru saja meninggal.
Pertanyaan berikutnya adalah
adakah tahapan ini dilalui Yesus tatkala ia akan menemui ajal-Nya? adakah
penolakan dari-Nya? kemarahan, depresi? atau Ia berada langsung dalam tahap
kelima? Sejak awal, Yesus tahu Ia harus menderita, disesah, dan mati untuk
menebus dosa manusia. Penderitaan-Nya dikarenakan kesalahan dan dosa kita. Akan
tetapi, disamping doa-Nya di taman Getsemani - yang kelihatannya dalam kadar
tertentu disebut orang sebagai sikap penawaran pada Bapa - Yesus dalam keseluruhan
hidup-Nya sebagai manusia belajar taat sebagai Anak menjalankan Misi Bapa-Nya.
Beberapa kali dicatat dalam Injil ia ditawarkan untuk meninggalkan misi-Nya
dengan peringatan akan penderitaan yang akan Ia hadapi. Salah satu contohnya, dalam
Lukas 13: 31-35 orang Farisi menganjurkan Yesus untuk pergi karena Herodes akan
membunuh-Nya. Yesus tidak bergeming dan tidak takut. Ia tahu bahwa kematian-Nya
sudah mendekat - lebih parah lagi Ia tahu bagaimana Ia akan mati dan Ia akan
disiksa sampai mati bukan karena kesalahan-Nya - tatkala Ia disambut
sorak-sorai oleh warga Yerusalem. Yerusalem menyambut dan memuliakan Dia yang
akan memasuki penderitaan !!! Yesus juga tahu kematiaan-Nya sudah mendekat
tatkala Ia masih memberikan pelayanan kasih kepada para murid-Nya dalam
perjamuan malam terakhir. Membasuh kaki murid-murid-Nya termasuk Yudas yang
akan menghianati-Nya. Ia tahu ajal menjelang tetapi Ia justru merendahkan diri
membasuh kakai dan mengampuni Yudas yang akan menghianati-Nya.
Yesus kelihatan berjalan dengan
bebas-Nya menuju kematian, tanpa rasa penolakan, kemarahan, depresi, Ia malah
mempersiapkan murid-murid-Nya agar tidak kecewa dan Shock menghadapi kenyataan
itu. Yesus menunjukkan tidak hanya keberanian-Nya untuk menderita dan mati,
lebih daripada itu Yesus menunjukkan keberaniaan-Nya untuk hidup dalam ketaatan
kepada Misi Allah. Ia merayakan begitu berharganya hidup meski dalam
penderitaan, sebab kualitas hidup-Nya ditentukan bagaimana misi-Nya dijalankan.
Dalam ibadah kamis putih ini, kita di ingatkan pada kebebasan Yesus berjalan
menuju ajal-Nya sambil mempersiapkan murid-murid-Nya. Kisah dalam teks kita
malam ini (Yoh 16:1-11) berasal dari masa perpisahan sekaligus masa-masa terakhir
kebersamaan Yesus dengan murid-Nya sekaligus diungkapkan kembali di tengah
komunitas Yohanes yang mengalami penderitaan karena iman mereka pada Yesus. Dalam
kisah ini, Yesus mewartakan penderitaan
(dikucilkan, dibunuh, dan tindakan itu dianggap sebagai bakti kepada Allah) yang
akan dialami para murid karena iman pada-Nya. (Ay 1-3). Apa yang akan dialami
para murid itu akan terlebih dahulu dialami oleh Yesus sendiri dalam proses kematian-Nya.
Itulah sebabnya, selanjtunya dalam teks ini dengan sangat lugas, Yesus berkata
kepada para murid yang menjadi sahabat-sahabat-Nya yang paling dekat mengenai
akhir hidup-Nya (ay. 3-11). Meskipun Yesus pasti menyadari hal itu akan membawa
kepedihan dan kesedihan, Ia - menguktip ungkapan Henry Nouwen dalam bukunya Our Greatest Gift - tetap mewartakan kematian-Nya sebagai sesuatu
yang baik, sesuatu yang penuh rahmat, penuh janji, penuh harapan. Ia memberitakan
kematian-Nya sebagai sesuatu yang baik sebab dengan kematian-Nya (pergi kepada
Bapa) penghibur akan datang. Warta kematian-Nya penuh rahmat, janji, dan
harapan karena Roh Penghibur akan di utus-Nya dan akan menginsafkan dunia akan
dosa, kebenaran, dan penghakiman. Dengan demikian kematian Yesus diwartakan sebagai
sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain (murid-Nya dan seluruh dunia). Warta
kematian ini juga menjadi penuh rahmat karena ketika Yesus akan pergi kepada
Bapa, Ia tidak meninggalkan murid-Nya tetapi senantiasa menyertai mereka dengan
kehadiran Penghibur (Roh Kudus). Dengan demikian Roh Cinta Kasih Allah tetap
berlanjut di dalam dan setelah kematian-Nya. Inilah janji, harapan, dan rahmat
yang akan menguatkan para murid tatkala semua penderitaan dan kehilangan sang
guru akan menjadi kenyataan.
Hal ini diungkapkan Yesus supaya mereka
natinya tidak menjadi kecewa ketika semua itu terjadi. Yesus sekali lagi
berjalan dalam kemerdekaan menuju kematian-Nya, dan malah mempersiapkan
murid-murid-Nya menghadapi rasa kedukaan dan kehilangan akibat penderitaan dan
kematian yang akan dialami-Nya. Hal ini tentu terbalik dari kenyataan yang
dihadapi para dokter dan pendeta yang justru kerap diperhadapkan pada tugas
untuk mempersiapkan seseorang menerima kematiannya -seperti yang dilakukan
Kubler di atas. Kebebasan Yesus ini hanya terjadi tatkala Yesus menyadari
keberadaan-Nya sebagai Anak, dan kesetiaan-Nya sebagai Anak yang bergantung
pada Allah. Kebergantungan pada sang Ilahi
membuat proses kematian menjadi bagian dari kehidupan yang lebih besar dan
lebih luas. Proses kematian Yesus - dalam kebergantungan-Nya pada Allah dan
bukan pada rencana para musuh-Nya - menjadi bagian dari kehidupan umat manusia
dan seluruh dunia. Warta kematian Yesus menjadi warta menuju jalan kehidupan
yang penuh janji, harapan, dan rahmat bagi manusia.
Pada kamis putih ini, tatkala
warta kematian Yesus diberitakan, kita diingatkan akan sebuah paradoks yakni:
Kebergantungan pada orang orang lain sering kali mengarah pada perbudakan, namun
kebergantungan kepada Allah mengarah kepada kemerdekaan. Ketika kita menyakini
kebergantungan kita pada Allah bukan sebagai kutukan tetapi sebagai karunia,
pada saat itulah kita menemukan kemerdekaan anak-anak Allah. Kemerdekaan
batiniah yang mendalam ini - sebagaimana dimiliki oleh Yesus - memampukan kita
menghadapi musuh-musuh kita, menyingkirkan kuk penindasan, serta membagun
kehidupan yang penuh keberanian dan cinta. Hidup dalam kemerdekaan sebagai
anak-anak Allah yang taat seperti Yesus, maka kita melucuti kematian dari
kekuasaanya atas kita.
Pada akhirnya, ibadah kamis putih
ini menghantar kita untuk merayakan iman dalam Yesus bukan hanya sekedar tidak
takut mati dan menderita tetapi berani
untuk hidup hingga akhir misi Allah dalam hidup kita. Kita juga diingatkan akan
kebergantungan kita pada Allah akan membawa kita pada kemerdekaan melawan
seluruh musuh, penderitaan dan bahkan kematian sekalipun. Cinta kasih Allah
yang dianugerahkan dalam kesediaan Kristus ( yang Maha kuasa, dan tidak
berdosa) dalam kerendahan hati menderita dan mati mengantikan kita (yang lemah
dan berdosa) mendorong kita untuk menyerahkan dan merayakan kehidupan dalam
kebersamaan dengan Yesus yang solider pada orang-orang miskin dan menderita, sambil
berdiri tegak menghadapi penolakan dan nistaan. Mesyukuri anugerah Ilahi ini
dengan menjadikan kesederhanaan dan kesediaan melayani sesama tanpa pamrih dan
pandang bulu menjadi seruan malam ini, seruan yang akan menjadi aksi nyata! AMIN!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar