Rabu, 16 April 2014

Renungan Kamis Putih, 17 April 2014 Berjalan Bebas Menuju Kematian (Yoh 16:1-11)



Jika ditanyakan apakah peristiwa yang menurut anda paling menakutkan? mungkin ada yang menjawab menanti hasil ujian, yang lain menjawab menunggu proses lahiran anak yang sudah lama dinanti, atau ketika mendengar vonis dokter bahwa anda menderita kanker, atau anda akan menjawab menunuggu eksekusi mati, dll. Semua jawaban ini sesungguhnya memiliki kebenarannya masing-masing. Namun mungkin kita sepakat bahwa salah satu yang paling menakutkan adalah menunggu saat-saat kematian apalagi jika waktu dan cara kematian itu kita ketahui. Ada banyak pasien di rumah sakit atau sudah dibawa pulang ke rumah "berstatus" sebagai pasien yang menunggu kematian atau pasien yang hampir meninggal dunia, entah dalam keadaan masih sadar atau tidak sadar. Untuk pasien yang seperti ini diperlukan pelayanan psikilogis dan pastoral untuk mempersiapkan mereka menerima kenyataan bahwa ia akan mengakhiri hidupnya. Mungkinkah kita bisa menduga apa dan bagaimana perasaan mereka yang sudah menunggu ajal ini?
Elisabeth Kubler Ross - seorang dokter dan psikiatri - sambil melayani para pasien hampir meninggal dunia melakukan riset tentang pergumulan jiwa orang yang akan menghadapi ajal. Dalam bukunya yang berjudul On Death and Dying - sebagaimana dikutip oleh Andar Ismail dalam bukunya selamat berjuang - ada lima kemungkinan tahap perasaan menjelang ajal. Pertama, penyangkalan, saat kita menolak datangnya maut. Kedua, marah. Ketiga, penawaran, saat kita berjanji untuk berperilaku lebih baik lagi jika umur diperpanjang. Keempat, depresi karena ternyata kematian makin mendekat. Kelima, rasa damai saat kita menerima kenyataan dan berserah. Kelima tahap ini bisa juga terjadi pada keluarga yang kekasihnya baru saja meninggal.
Pertanyaan berikutnya adalah adakah tahapan ini dilalui Yesus tatkala ia akan menemui ajal-Nya? adakah penolakan dari-Nya? kemarahan, depresi? atau Ia berada langsung dalam tahap kelima? Sejak awal, Yesus tahu Ia harus menderita, disesah, dan mati untuk menebus dosa manusia. Penderitaan-Nya dikarenakan kesalahan dan dosa kita. Akan tetapi, disamping doa-Nya di taman Getsemani - yang kelihatannya dalam kadar tertentu disebut orang sebagai sikap penawaran pada Bapa - Yesus dalam keseluruhan hidup-Nya sebagai manusia belajar taat sebagai Anak menjalankan Misi Bapa-Nya. Beberapa kali dicatat dalam Injil ia ditawarkan untuk meninggalkan misi-Nya dengan peringatan akan penderitaan yang akan Ia hadapi. Salah satu contohnya, dalam Lukas 13: 31-35 orang Farisi menganjurkan Yesus untuk pergi karena Herodes akan membunuh-Nya. Yesus tidak bergeming dan tidak takut. Ia tahu bahwa kematian-Nya sudah mendekat - lebih parah lagi Ia tahu bagaimana Ia akan mati dan Ia akan disiksa sampai mati bukan karena kesalahan-Nya - tatkala Ia disambut sorak-sorai oleh warga Yerusalem. Yerusalem menyambut dan memuliakan Dia yang akan memasuki penderitaan !!! Yesus juga tahu kematiaan-Nya sudah mendekat tatkala Ia masih memberikan pelayanan kasih kepada para murid-Nya dalam perjamuan malam terakhir. Membasuh kaki murid-murid-Nya termasuk Yudas yang akan menghianati-Nya. Ia tahu ajal menjelang tetapi Ia justru merendahkan diri membasuh kakai dan mengampuni Yudas yang akan menghianati-Nya.
Yesus kelihatan berjalan dengan bebas-Nya menuju kematian, tanpa rasa penolakan, kemarahan, depresi, Ia malah mempersiapkan murid-murid-Nya agar tidak kecewa dan Shock menghadapi kenyataan itu. Yesus menunjukkan tidak hanya keberanian-Nya untuk menderita dan mati, lebih daripada itu Yesus menunjukkan keberaniaan-Nya untuk hidup dalam ketaatan kepada Misi Allah. Ia merayakan begitu berharganya hidup meski dalam penderitaan, sebab kualitas hidup-Nya ditentukan bagaimana misi-Nya dijalankan. Dalam ibadah kamis putih ini, kita di ingatkan pada kebebasan Yesus berjalan menuju ajal-Nya sambil mempersiapkan murid-murid-Nya. Kisah dalam teks kita malam ini (Yoh 16:1-11) berasal dari  masa perpisahan sekaligus masa-masa terakhir kebersamaan Yesus dengan murid-Nya sekaligus diungkapkan kembali di tengah komunitas Yohanes yang mengalami penderitaan karena iman mereka pada Yesus. Dalam kisah ini,  Yesus mewartakan penderitaan (dikucilkan, dibunuh, dan tindakan itu dianggap sebagai bakti kepada Allah) yang akan dialami para murid karena iman pada-Nya. (Ay 1-3). Apa yang akan dialami para murid itu akan terlebih dahulu dialami oleh Yesus sendiri dalam proses kematian-Nya. Itulah sebabnya, selanjtunya dalam teks ini dengan sangat lugas, Yesus berkata kepada para murid yang menjadi sahabat-sahabat-Nya yang paling dekat mengenai akhir hidup-Nya (ay. 3-11). Meskipun Yesus pasti menyadari hal itu akan membawa kepedihan dan kesedihan, Ia - menguktip ungkapan Henry Nouwen dalam bukunya Our Greatest Gift -  tetap mewartakan kematian-Nya sebagai sesuatu yang baik, sesuatu yang penuh rahmat, penuh janji, penuh harapan. Ia memberitakan kematian-Nya sebagai sesuatu yang baik sebab dengan kematian-Nya (pergi kepada Bapa) penghibur akan datang. Warta kematian-Nya penuh rahmat, janji, dan harapan karena Roh Penghibur akan di utus-Nya dan akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran, dan penghakiman. Dengan demikian kematian Yesus diwartakan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain (murid-Nya dan seluruh dunia). Warta kematian ini juga menjadi penuh rahmat karena ketika Yesus akan pergi kepada Bapa, Ia tidak meninggalkan murid-Nya tetapi senantiasa menyertai mereka dengan kehadiran Penghibur (Roh Kudus). Dengan demikian Roh Cinta Kasih Allah tetap berlanjut di dalam dan setelah kematian-Nya. Inilah janji, harapan, dan rahmat yang akan menguatkan para murid tatkala semua penderitaan dan kehilangan sang guru akan menjadi kenyataan.
Hal ini diungkapkan Yesus supaya mereka natinya tidak menjadi kecewa ketika semua itu terjadi. Yesus sekali lagi berjalan dalam kemerdekaan menuju kematian-Nya, dan malah mempersiapkan murid-murid-Nya menghadapi rasa kedukaan dan kehilangan akibat penderitaan dan kematian yang akan dialami-Nya. Hal ini tentu terbalik dari kenyataan yang dihadapi para dokter dan pendeta yang justru kerap diperhadapkan pada tugas untuk mempersiapkan seseorang menerima kematiannya -seperti yang dilakukan Kubler di atas. Kebebasan Yesus ini hanya terjadi tatkala Yesus menyadari keberadaan-Nya sebagai Anak, dan kesetiaan-Nya sebagai Anak yang bergantung pada Allah.  Kebergantungan pada sang Ilahi membuat proses kematian menjadi bagian dari kehidupan yang lebih besar dan lebih luas. Proses kematian Yesus - dalam kebergantungan-Nya pada Allah dan bukan pada rencana para musuh-Nya - menjadi bagian dari kehidupan umat manusia dan seluruh dunia. Warta kematian Yesus menjadi warta menuju jalan kehidupan yang penuh janji, harapan, dan rahmat bagi manusia.
Pada kamis putih ini, tatkala warta kematian Yesus diberitakan, kita diingatkan akan sebuah paradoks yakni: Kebergantungan pada orang orang lain sering kali mengarah pada perbudakan, namun kebergantungan kepada Allah mengarah kepada kemerdekaan. Ketika kita menyakini kebergantungan kita pada Allah bukan sebagai kutukan tetapi sebagai karunia, pada saat itulah kita menemukan kemerdekaan anak-anak Allah. Kemerdekaan batiniah yang mendalam ini - sebagaimana dimiliki oleh Yesus - memampukan kita menghadapi musuh-musuh kita, menyingkirkan kuk penindasan, serta membagun kehidupan yang penuh keberanian dan cinta. Hidup dalam kemerdekaan sebagai anak-anak Allah yang taat seperti Yesus, maka kita melucuti kematian dari kekuasaanya atas kita.
Pada akhirnya, ibadah kamis putih ini menghantar kita untuk merayakan iman dalam Yesus bukan hanya sekedar tidak takut mati  dan menderita tetapi berani untuk hidup hingga akhir misi Allah dalam hidup kita. Kita juga diingatkan akan kebergantungan kita pada Allah akan membawa kita pada kemerdekaan melawan seluruh musuh, penderitaan dan bahkan kematian sekalipun. Cinta kasih Allah yang dianugerahkan dalam kesediaan Kristus ( yang Maha kuasa, dan tidak berdosa) dalam kerendahan hati menderita dan mati mengantikan kita (yang lemah dan berdosa) mendorong kita untuk menyerahkan dan merayakan kehidupan dalam kebersamaan dengan Yesus yang solider pada orang-orang miskin dan menderita, sambil berdiri tegak menghadapi penolakan dan nistaan. Mesyukuri anugerah Ilahi ini dengan menjadikan kesederhanaan dan kesediaan melayani sesama tanpa pamrih dan pandang bulu menjadi seruan malam ini, seruan yang akan menjadi aksi nyata! AMIN!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar