MAKNA SOSIAL PERJAMUAN KUDUS dan VIRUS KORONA
Saat ini, dikalangan orang Kristen sedang hangat diperbincangkan, kalau tidak mau disebut diperdebatkan, masalah Perjamuan Kudus (selanjutnya, disingkat dengan PK). Memang, biasanya dalam rangkaian paskah apakah itu Kamis Putih atau Jumat Agung, gereja akan melaksanakan ritus PK. Namun, dalam kondisi saat ini, di tengah pandemi virus Korona, ritus tersebut tidak bisa dilaksakan di gereja karena ibadahpun sudah dipindahkan ke rumah warga jemaat. Lantas, muncullah wacana pelaksanaan PK secara online. Inilah yang memunculkan banyak perbincangan, bisakah atau tidak. Jika bisa atau jika tidak bisa apakah dasar teologisnya?
Bagi saya secara pribadi (sekali lagi secara pribadi tidak pula harus diterima dan diikuit oleh orang lain) dalam kondisi seperti yang kita hadapi saat ini, lebih penting melihat makna sosial PK itu sendiri daripada pelaksanaan ritusnya. Saya memang tidak mau menyalahkan pembahasan tentang boleh tidaknya PK online, hanya saja mari lebih baik memfokuskan pikiran dan tenaga untuk menghadapi virus ini daripada membahas ritus PK ini. Tentu, mengingat perkembangan jaman, selepas pandemi ini, kita pun perlu sekali memperbincangkan pelaksanaan PK online ini. Tetapi yang paling mendesak sekarang, sekali lagi menurut saya lho, adalah bagaimana jemaat menghidupi dan memperaktikkan makna sosial dari PK itu sendiri. Meski dalam paskah tahun ini tidak bisa melaksakan ritus PK, tetapi makna teologis dan spiritualnya tetap dapat dilaksanakan.
Sebagaimana kita ketahui, ada beberapa dimensi teologis mengapa PK dilaksanakan. Ada pula beberapa pandangan teologis yang berbeda tentang hakikat Roti dan Anggur yang dianut gereja, apakah itu consubstansiasi, trasubstansiasi, simlolik, dll. Tetapi, saat ini bukan itu yang ingin kita perbincangkan. Saya mengajak kita melihat dimensi umum yang sama-sama bisa dihayati dan diterima oleh semua gereja tentang perjamuan kudus.
1. Perjamuan Kudus adalah proses mengingat. Hal ini didasarkan pada firman Tuhan Yesus dalam penetapan PK itu, "....lakukanlah ini sebagai peringatan akan aku". Apa yang kita ingat dalam PK? kita mengingat Yesus sendiri, pengorbanan-Nya demi menghapus dosa, dan mengingat bahwa Dia akan datang kembali "...setiap kali engkau makan roti dan meminum cawan ini engkau memberitatakn kematian Tuhan sampai Ia datang" (1 Kor, 11: 26). Di sini, dalam PK, kita menghayati tiga periode waktu yaitu masa lalu, masa kini, dan masa depan. Sembari membangun ingatan di masa kini dengan mengingat peristiwa masa lalu, pada waktu yang sama menanti hari kedatangan-Nya.
Pertanyaanya adalah apakah proses mengingat dan membagun ingatan ini hanyalah mengenang peristiwa masa lalu di mana Yesus mengorbankan diri-Nya, disalib, dan mati untuk menebus dosa kita? Bagi saya, proses mengingat dan membangun ingatan ini tidak cukup hanya mengenang masa lalu, supaya kita tidak lupa pengorbanan-Nya itu. Lebih dari pada itu, proses mengingat dan membangun ingatan itu adalah proses di mana kita turut berpartisipasi di dalam kehadiran yang menyematkan itu. Jika kehadiran dan pengorbanan Yesus yang dikenang dalam PK adalah untuk menyelamatkan maka kehadiran kita di dunia ini sebaiknya turut berpartisipasi dalam proses menyelamatkan itu. Dalam hal inilah makna sosial PK itu bisa dilihat. Kita tidak bisa melaksakan ritus PK, tetapi gereja bisa berpartisipasi dalam kehadiran yang menyelamatkan di tengah masyarakat yang sedang mengalami beragam kesulitan karena virus Korona ini. Caranya? gereja dan warganya tidak lagi hanya memikirkan diri sendiri tetapi bertindak keluar dari dirinya untuk membantu warga dan masyarakat, baik melalui tindakan diakonia maupun tindakan antisipatif yang lain yang mencegah penyebaran covid 19. Sekali lagi, meski ritus PK tidak bisa dilayankan gereja, spiritualitas dan makna sosialnya dapat kita laksanakan. Ini jauh lebih penting dimasa kini.
2. Saya kira, kita sepakat, bahwa salah satu esensi dari PK adalah 'kerelaan Yesus membagi tubuh dan darah-Nya kepada kita manusia agar kita memperoleh keselamatan dan kehidupan (haluaon dohot hangoluan). Ketika melaksanakan ritus PK kita memang menerima tubuh dan darah Yesus. Tetapi penghayatan kita atas ritus itu tidaklah seharusnya terputus atau tertutup hanya pada proses menerima saja. Sebab kalau hanya proses "menerima" saja maka kita akan kehilangan dimensi yang lain. Dalam PK, yang saya pahami, kita juga "memberi/menyerahkan" diri disatukan dengan Kristus dan dengan seluruh jemaat. Itulah sebabnya, di Jemaat Korintus Paulus mendesak mereka mengoreksi diri ketika datang ke PK yang biasanya digabungkan dengan perjamuan kasih. Kebanyakan, mereka datang hanya untuk menerima tanpa mau memberi demi kesatuan Tubuh Kristus, yaitu pada jemaat. Mereka membawa makanan untuk mengenyangkan diri sendiri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain yang kelaparan karena tidak punya makanan.
Oleh karena itu, meski kita tidak bisa melayankan ritus PK, tetapi esensi dan makna spiritualnya dapat kita maknai dan rasakan ketika di Jumat Agung yang akan datang dan sampai Paskah kita menunjukkan sikap memberi atau 'mau berbagi roti dan anggur-makanan dan minuman dan apa yg ada pada kita- dengan orang lain yang menderita karena Korona supaya mereka bisa memperoleh kehidupan (tetap makan dan minum). Tidak seperti di Jemaat Korintus ada yang kekenyangan sampai mabuk, tetapi ada yang kelaparan. Sebuah ketimpangan sosial terjadi dalam gereja dan inilah yang dikejam oleh Paulus (1Kor.11:17-22). "Tubuh Kritus" seharusnya saling menopang bukan saling mencampakkan (nah yang ini bisa menjadi satu pokok diskusi untuk PK online, nantinya. Apakah karena keterbatasan warga jemaat terkait koneksi internet, kepemilikan gadjed, dll adakah yang "tercampakkan" dalam PK online ini nantinya atau tidak?)
3. Seperti biasa, ritus PK yang dilakukan di gereja senantiasa diikuti dengan pemberian persembahan. Dalam praktik ritus PK, semua orang yang ikut serta menerima roti dan anggur yang sama. Tidak ada pembedaan baik dari kualitas maupun kuantitas roti dan anggurnya. Tidak ada disebutkan untuk orang kaya, roti dan anggurnya lebih mahal dan lebih banyak. Semua sama. Akan tetapi dalam hal memberi persembahan, tidak dibatasi dan tentu akan selalu berbeda jumlahnya. Semua menerima roti dan angur yang sama meski persembahan mereka kepada Allah melalui gereja berbeda jumlahnya. Semua orang dilihat dan diperlaukan dengan sama. Inilah dimensi sosial yang ketiga dari PK yakni Keadilan. PK tanpa usaha menegakkan dan mencintai keadilan dalam hidup sehari-hari adalah kosong belaka. PK akan kosong jika gereja sebagai Tubuh Kristus tidak mempersembahkan/membagi tubuhnya bagi masyarakat yang menderita dan membutuhkan.
4. Melihat hal di atas maka dalam konteks saat ini baiklah kita fokus pada makna sosial PK itu tidak pada ritusnya. Apalagi pembahasan ritus PK online itu dikaitkan dengan Persembahan PK yang dalam konteks tertentu dilihat sebagai "pemasukan pendeta/gereja". Ini pasti akan memalukan. Ketika PK mengajarkan kita untuk keluar dari keegoisan dan kepentingan diri sendiri dengan mengorbankan apa yang ada pada kita demi orang lain, janganlah kiranya gereja termasuk pendeta justru membahas PK demi kepentingan dirinya sendiri ditengah situasi yang mengajak kita untuk meningkatkan solidaritas ini.
Semalam ketika beberapa jemaat bertanya tentang pelaksanaan PK di Jumat Agung, mungkin kerena dipengaruhi oleh percakapan dan pembahasan di dunia maya, mereka bertanya Amang apakah PK nanti kita laksanakan secara online seperti beberpa gereja yang mewacanakan demikian? saya menjelaskan pada mereka seperti penjelasan saya di atas. Saya mengajak mereka, dalam kondisi saat ini, untuk fokus pada makna sosial PK daripada ritusnya, meski saya tidak mengatakan bahwa ritus PK tidak penting. Di masa depan, setelah pandemi korona ini berlalu, kita bisa menggumulinya, sebab kehadiran dan kuasa Kristus senantiasa melampaui batasan-batasan. Akan ada masanya untuk dengan serius mengumulinya.
Dilandasi penjelasan akan makna sosial PK itu, atas seijin saya sebagai pendeta jemaat, beberapa jemaat tersebut berinisiatif membuat gerekan GKPI saroha berbagai dimasa paska dan Virus Korona. Gerakan ini dipromosikan melalui group WA. Pendeta diminta membuat penjelasan tentang makna sosial PK sebagai dasar pembentukan group. Landasannya adalah menghayati dan mempraktikan makna sosial PK disaat ritus PK tidak bisa dilaksanakan di gereja pada Jumat Agung. Hasilnya, sejak digulirkan semalam, program ini, hingga sore hari ini, sudah berhasil menggerakkan hati 11 KK (termasuk pendeta) warga jemaat kita untuk berbagi dan mengumpulkan 250 Kg beras, 36 papan telor, 117 Kg Minyak goreng, 42 Kg Gula Pasir, 70 kotak bubuk teh, 45 Kaleng susu, 1 Dus Indomie, dan 31 Bal Bihun Jagung. Ini tentu masih akan bertambah setelah semakin banyak orang yang diikutkan dalam group WA itu. Hasil pengumpulan ’roti dan anggur ini', pada Jumat Agung atau paskah yang akan datang akan disalurkan kepada: Pertama, warga jemaat yang terdampak virus koroan, yakni warga jemaat yang berkerja di sektor informal yang banyak kehilangan pendapatan karena virus korona seprti sopir angkot, tukang becak, tukang cuci gosok, parengerengge, dll, kemudian akan meluas ke warga masyarkat diluar GKPI Saroha. Ritus PK tidak bisa kami lakukan tetapi makna dan semangat spiritualitasnya tetap dapat dilakukan. Mengingat pengorbanan Yesus dengan berpartisipasi menghidupkan oleh lain. Memang jumlah pemberian itu kecil tetapi dilandasi oleh semangat dan penghayatan yang besar.
Selamat sore bapak/ibu saudara/i warga jemaat GKPI Saroha dan STM Tanah Lapang. Ditengah kesibukan mempersiapkan rangkaian khotbah untuk 6 kebaktian minggu ini (kebaktian sektor, kamis putih, jumat agung, paskah subuh, paskah 1 dan paskah 2) saya mencoba menuliskan catatan singkat ini untuk membuka wawasan kita bersama menghadapai pergumulan soal tidak dilayankanya PK di hari Jumat Agung yang akan datang. Salam kami dari rumah dinas. Semoga bermanfaat. Tuhan memberkati kita kini dan di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar