Manusia Tidak Untuk Diperjualbelikan
(Matius 27:1-10)
Bapak/Ibu/Saudara/i jemaat Tuhan yang terkasih,
Saat ini kita hidup dijaman yang serba modern. Ada banyak kemudahan yang bisa kita nikmati dalam kehidupan bersama masyarakat karena kemajuan ternologi dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, kita juga harus menyadari bahwa kemajuan jaman inipun mendorong manusia makin canggil dalam melakukan tindak kejahatan dan menunjukkan betapa moral manusia tidak jauh berkembang, masih sangat primitif. Salah satu contohnya adalah maraknya tindakan kejahatan perdagangan orang yang dikenal dengan istilah human trafficing. Perdagangan orang menurut UU no 21 tahun 2007 adalah: "Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang lain tereksploitasi." Dalam Protokol PBB eksploitasi itu termasuk eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk lain dari eksplotasi seksual,kerja atau kerja paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penghambaan dan pengambilan oragan tubuh.
Perdanganan orang dengan demikian bukan hanya soal menjual diri dan manusia secara utuh. Perdagangan orang juga menyangkut, perbudakan, pelacuran, gaji yang tidak dibayar, penipuan, pungutan liar, membuat seseorang menjadi "budak hutang" dan mungkin juga menjual orang lain dalam PILKADA, ekslpolitasi seksual, pengambilan dan perdagangan organ tubuh. Semua ini biasanya berkaitan dengan kemiskinan dan pengangguran. Paus Fransiskus pernah mengatakan bahwa: "perdaganagan orang adalah: Suatu luka terbuka dalam tubuh masyarakat masa kini". Lebih dalam, dalam kontesk gereja, kita bisa menambahkan bahwa perdagangan orang adalah sebuah luka terbuka dalam tubuh Kristus, yaitu suatu luka yang menganga di dalam gereja". Maka dari itu, gereja harus hadir dalam kemiskinan umat agar jangan sampai karena kemiskinan umat terjebak dalam perdangangan orang. Sebab seperti tema kita hari ini, manusia tidak untuk di jual. Human being not for sale!
Melihat Yesus Sebagai Korban Persengkongkolan dan Perdagangan Orang"
Perdagangan Orang biasanya terjadi dengan cara cara penipuan, iming-iming pekerjaan dengan gaji menggiurkan, penculikan/penyekapan, dll. Setelah korban "terjerat", "terbelenggu" dan tidak bisa keluar, maka mereka dibawa dan diserahkan/dijual pada pihak tertentu, dieksploitasi baik secara fisik, psikis, dan seksual. Para korban biasanya tidak berdaya dan membiarkan diri digiring dan diarak sesuka hati para pelaku perdagangan orang ini. Hal yang hampir sama dialami oleh Yesus. Ia di belenggu, dibawa/digiring, dan diserahkan untuk disalibkan (ay. 1-2). Kata membawa dalam teks ini, mengindikasikan bahwa Yesus dianggap sebagai sebuah "objek" yang tidak memiliki kuasa atas dirinya. Sama seperti kita membawa buku, buku itu tidak punya kuasa atas dirinya. Ia pasrah pada tangan yang membawanya. Demikian jugalah biasanya, para korban perdaganan orang dibawa bagaikan sebuah "objek" yang tidak berdaya. Ia bukan lagi sebagai subjek yang berdaulat atas dirinya sendiri.
Yesus yang dibawa dan digiring itu adalah korban "perdagangan orang". Yesus yang dihianati dan diserahkan oleh Muridnya sendiri dengan uang 30 perak, dalam konteks Matius, adalah hasil persekongkolan Yudas Iskariot dan para imam-imam kepala (Mat. 26:14-16). Yudas Iskariot menyalahgunakan wewenangnya sebagai murid Yesus dan sebagai bendahara persekutuanitu. Ia tawar menawar dengan para imam-imam kepala, ia berkata: "Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?". Yudas Iskariot adalah penghianat sekaligus Koruptor. Bagi seorang koruptor, apapun akan dilakukan untuk memperoleh uang, termasuk menjual sesamanya bahkan guru dan Tuhannya. Dalam dunia milenial saat ini hal ini dapat disebut sebagai sistem barter. Pdt. Dr. SM Hutagalung dalam buku Yudas Iskariot yang mana saudara? halaman 56 menyebut: "Yudas Iskariot "memperdagangkan kedudukan" dan "sumpah setia" demi keuntungan dan kepentingan pribadi dengan tidak memperdulikan derita orang lain, nilai nilai kebenaran, kesetian, keadilan dan kasih. Yudas Iskariot, membarterkan Jurusselamat dengan uang 30 perak!"
Pola barter ini inipun sering terjadi dalam dunia pelayanan dimana pelayanan secara persekutuan hidup solidaritas, disiplin kerja dan norma cinta kasih, sudah dipengaruhi oleh:’apa yang dapat saudara berikan, supaya saya memberi pelayanan pada saudara?" Dalam konteks pemilihan Majelis dan Pimpinan Sinode yang sebentar lagi akan kita laksanakan nadanya bisa terdengar seperti berikut: ”apa yang dapat saudara berikan atau apa yang aku dapat, supaya saya memilih saudara menjadi Majelis atau pimpinan sinode?" Atau bahasa yang lain: "Dukung dan pilih saya jadi Majelis atau Pimpinan Sinode, maka saya akan memberikanmu ini (penempatan, jabatan, dll)". Jika demikian terjadi maka akan terjadi kemudian "ulak ni tandok". Hidup berjalan dengan sistem barter tanpa meperhatikan "nilai nilai kejujuran kerja, kesetiaan dan prestasi" semua karena kepentingan. Dalam hal ini, kita mengikuti pola dan sikap Yudas Iskariot. Menariknnya, diakhir persekongkolan ini, Yudas Iskariot disingkirkan, dianggap tidak penting, dan akhirnya bunuh diri.
Persekongkolan Yudas Iskariot dan para imam-imam kepala adalah persekongkolan orang-orang yang dikuasai nafsu duniawi dan dirasuki oleh Iblis (Luk 22:3; Yoh 13:27). Kedua pihak sesungguhnya pemuka agama dan murid Yesus tetapi dikuasai oleh Iblis. Ini menunjukkan betapa tidak tertutupnya kemungkinan para pemuka agama dan yang dekat dengan Tuhanpun rentan dikuasai oleh Iblis. Maka penting sekali untuk tetap waspada dalam kesetian. Persekongkolan orang-orang yang serakah dan haus akan kuasa dan pengakuan. Dalam konteks perdagangan orang, persekongkolan dan sistem barter adalah hal yang lazim dan menjadi bagian penting di dalamnya. Persekongkolan perekrut dengan penampung, penampung dengan penyalur, dll menjadi mata rantai setan yang menghancurkan harga diri kemanusiaan demi uang dan kuasa. Menciptakan luka bagi manusia secara fisik dan psikis. Menyiksa badan dan batin manusia. Persekongkolan itu tidak memerhatikan penderitaan orang lain (korban perdagangan orang/human traffiking), nilai kebenaran, keadialan dan kasih. Bagi mereja manusia bisa dibarter dengan gepok uang.
Iman Pada Yesus: Resistensi dan Penolakan Perdagangan Orang
Seorang teolog Feminis, Dorothee Soelle, mengatakan:...”In Christ, God makes God's self vulnerable...Christ is God's wound in the world" (Dalam Kristus, Allah membuat dirinya sendiri rapuh...Kristus adalah luka Allah di dalam dunia). Yesus pun "rentan" dan "terjual". Maka ketika kita mengalami penderitaan dalam bentuk perdanganan orang dalam semua bentuknya, untuk bangkit kita bisa mengidentifikasi diri dengan TUHAN YESUS. Kita yang sedang rapuh saat ini karena Korona bisa melihat diri bersama Yesus yang rapuh dan menderita bersama kita. Ingatlah Allah menyatu dengan penderitaan dan kerapuhan kita. Kitapun baiknya yakin bahwa kita menyatu dengan kemenanganNya.
Hal ini juga yang mendorong gereja yang percaya pada Yesus untuk bersedia masuk ke dalam kerapapuhan umat. Jika ada warga jemaat yang menderita baik karena perdagangan orang, Korona, maupun karena persoaalan lain, gereja harusnya hadir dalam kerapuhan mereka untuk bersama bangkit dari kerapuhan itu. Percaya pada Jesus yang "terjual" dan "terluka" itu mendorong kita untuk bersedia "terluka" bersama para korban perdagangan orang dan korban Korona agar berjuang bersama mereka demi pemulihan dan penyembuhan. Gereja tidak cukup hanya berdoa dan menghib
ur dengan ayat-ayat Alkitab, akan tetapi turun dan mengangkat mereka dari derita itu. Ini yang kita coba lakukan selama Pandemi Korona ini, hingga saat ini.
Maka sesungguhnya, menjadi rapuh dan terluka bukan akhir dari perjalanan iman orang percaya, dalam konteks perdagangan orang, arah iman kita adalah resistensi dan perlawanan. Perdagangan orang adalah derita dan perjuangan kita bersama Yesus. Bersama Allah, gereja dan orang percaya harus bertindak untuk melawan dan melucuti kuasa kuasa jahat dalam bentuk perdangangan orang. Misi gereja dalam konteks perdangangan orang mestilah merupakan sebuah proses berjalan bersama korban untuk mengalamai transformasi bersama. Yesus menempuh jalan "kerapuhan" dan "terjual" bukan hanya mau mati bersama umat tetapi bangkit dan menaklukkan kematian. Ia berjalan bersama manusia korban perbudakan dosa untuk bangkit dan mengalami trasnformasi bersama. Upaya berjalan bersama adalah jalan menuju transformasi.
Iman Pada Yesus: Bergerak Cepat jangan Sampai Menyesal
Bapak/Ibu/Saudara/i yang terkasih dalam Kristus,
Dalam konteks perdagangan orang yang makin canggih setiap tahun, gereja tidak bisa hanya dian duduk tenang dan menunggu juruslamat datang. Gereja harus bergerak cepat jangan sampai semua terlambat, gerjeja ikut menyesal karena tidak melakukan apa-apa dan membiarkan umat yang "rapuh" itu terkapar karena kemiskinan, pengangguran, dan perdangangan orang. "Rapuh" dan "terkapar" karena penyakit dan kelemahan fisik dan gereja tidak melakukan apapun. Ingatlah dalam kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa, Adam dan Hawa disebut sama-sama berdosa meski Hawa yang mengambil dan memakan buah pohon itu lebih dahulu. Akan tetapi, karena Adam membiarkan Hawa bercakapcakap dengan Iblis hingga mengambil buah pohon itu. Ia tidak menginterupsi dan mencegah Hawa malah membiarkan. Maka ia juga berdosa, bukan karena ia turut makan buah pohon itu, akan tetapi karena ia membiarkan Hawa mengambil buah pohon itu. MAKA DOSA PERBUATAN SAMA DENGAN DOSA PEMBIARAN. Jika Yudas Iskariot menyesal dan berdosa karena "menjual" Yesus, janganlah kiranya gereja dan orang percaya didalamnya turut menyesal karena MEMBIARKAN "UMAT" MENJUAL SESAMANYA DAN ATAU MEMBIARKAN UMAT KARENA KEMISKINAN DAN KELEMAHAN, "MENJUAL" DIRINYA.
Kiranya kita juga mengingat bahwa, salah satu penderitaan yang tidak ada obat adalah PENYESALAN!. Apalagi jika penyesalan itu ditangani dengan cara yang salah. Yudas Iskariot memberi kita contoh orang yang salah menangani penyesalan. Teks kita meyebut aksi Yudas Iskariot yang menyesali perbuatanya dalam beberapa adegan yakni: Ia menyeselai perbuatanyya, mengembalikan uang kepada imam-imam kepala; mengakui dosa dan kekeliruanya denga berseru: "aku telah berdosa karena menyerahkan daroh orang yang tidak bersalah; tidak digubris para imam-imam kepala; melemparkan uang perak itu ke dalam bait suci, dan menggantung diri (4-5). Yudas Iskariot yang menyesali kekeliruan dan dosanya, tidak mengubah/memperbaiki diri, malah mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Ia menyesali dosanya tetapi tidak berotbat dan tidak menyerah pada Hakim Yang Adil dan Penuh Kasih itu! Ia menjadi hakim bagi dirinya sendiri dan tidak mempunyai harapan. Ia jatuh pada dosa yang makin memperkeruh kondisinya dalam melanggar Firman Tuhan. Salah menangani penyesalan akan membawa kita pada keburukan yang lain. Oleh karena itu, perbaikilah diri selama masih ada kesempatan. Akuilah kesalahanmu pada Tuhan, dan belajarlah untuk hidup baru.
Yudas Iskariot berbeda dengan Simon Petrus. Petrus memang mengkianati Yesus dengan menyangkal Yesus sampai tiga kali. Akan tetapi, ia kemudian ia menyesali dosanya ia menangis tersedusedu (Mrk 14:72) bertobat dan tetapi mengikut Yesus. Penyesalan dan pertobatannya di terima Tuhan dan tetap dipakai Allah untuk memberitakan Injil. Maka dari itu saudara saudari yang terkasih, jika kita pernah menghianati Injil dengan seribu satu macam cara, termasuk menjual nama Yesus demi kepentingan diri sendiri, melakukan perdagangan manusia, menahan gaji karyawanmu, korupsi, menyalahgunakan wewenang, dll. Datanglah dan bertobatlah, percayalah pada Yesus ia akan menyelamatknamu.
Penghianat yang tersingkir
Menarik juga melihat sikap para imam-imam kepala yang tidak mau ambil pusing pada penyesalan Yudas Iskariot. Mereka cuek yang penting tujuan mereka telah terpenuhi, yakni menangkap dan menghukum mati Yesus. Yudas Iskariot menjadi korban "permainan" para imam-imam kepala. Ia menjadi sangat penting dan dibayar saat dibutuhkan oleh pada imam-imam kepala, tetapi ia di singkirkan dan dibuang disaat tidak dibutuhkan lagi. Dalam kehidupan nyata pun demikian para penghianat pada akhrnya akan menemukan dirinya "tersingkir" dan "dibuang". Permainan dunia memang demikian jika butuh maka disayang tidak butuh ditendang.
Para imam-imam kepala itu pun menampilkan paradoks yang lain, di satu sisi menampilkan perilaku yang kudus ketika mengatakan bahwa uang perak itu tidak bisa dimasukkan ke dalam peti persembahan karena uang darah. Akan tetapi, mereka sungguh sudah tercela karena menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Mereka sok suci sembari mengotori tangannya. Bagi mereka, darah Kristus tidak berarti apa apa dan tidak mau mengurusinya tetapi sebaliknya menumpahkannya.
Akhirnya, marilah kita berdiri bersama Kristus untuk berjalan berjalan bersama menolak dan menentang praktik perdaganngan manusia. Manusia bukan untuk dijual. Jangan menghianati iman dan janji setia kepada Tuhan hanya karena harta, kuasa, dan pengakuan. JIka sudah pernah melakukannya, sesalilah dirimu, akui dosamu dan bertobatlah, Allah akan mengampuni dan merangkulmu dalam pelukanNya yang penuh cinta dan kehangatan, sebab engkau berharga dan sudah ditebus dengan darahNya yang tercurah. Tuhan kiranya menguatkan kita melakukan FirmanNya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar