Senin, 03 Mei 2021

Khotbah Minggu Kolose 3: 18-21

 

RELASI DENGAN SESAMA ada di DALAM TUHAN

Kolose 3:18-21

Bapak/Ibu saudara/i yang terkasih,

Paulus dalam Kolose pasal 3, secara keseluruhan menekankan bahwa orang yang menerima Kristus sebagai Tuhan harus telihat dampaknya dalam semua aspek kehidupan termasuk dalam kehidupan berkeluarga. Orang yang sudah diselamatkan karena iman kepada Kristus diidentifikasi bersama dengan Kristus dalam kematian, kebangkitan dan duduk di sebalah Allah. Cara berpikir mereka yang berada dalam Kristus juga berubah. Paulus meminta mereka memikirkan perkara sorgawi bukan lagi hanya duniawi, menanggalkan manusia lama menjadi manusia baru, menanggalkan baju keberdosaan dan mengenakan baju kebenaran, mengenakan belaskasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran, pengampunan, mengenakan kasih yang mengikat dan menyempurnakan, menyerahkan diri diperintah oleh damai, didiami oleh perkataatn Kristus dengan segala kekayaannya, dan melakukan segala sesuatu seperti kepada Tuhan, melakukan segala sesuatu demi kemuliaan TUHAN (3:1-17).

Dalam terang yang sedemikian, Paulus melanjutkan bahwa dampak dari hidup dalam Kristus harus juga terlihat dalam kehidupan dan relasi dalam keluarga. Semua hubungan pribadi dalam keluarga ada di dalam TUHAN. Relasi dalam Kristus memperbaharui atau memberi kebaharuan dari tradisi dan ajaran yang berlaku pada masa itu. Dari etika sepihak menjadi etika timbal balik. Para suami memiliki tangggungjawab yang sama dengan istri mereka, para orang tua juga memiiki tugas yang sama mengikatnya seperti tugas anak-anak.

Dalam konteks surat Kolose, hal ini adalah hal yang sama sekali baru. Apa yang diajarkan Tuhan melalui Paulus dalam teks kita hari ini berkaitan dengan relasi suami-istri, orang tua dan anak menjungkirbalikkan konsep dan tradisi di masa itu baik dalam tradisi Yahudi maupun Yunani. Pada masa itu, tradisi Yahudi menempatkan peremupuan/istri sebagai properti kepunyaan suami. Ia berada dibawah kuasa dan kepemilikan penuh suaminya. Dalam tradisi Yahudi dan Yunani, semua hak istimewa dipegang oleh suami, sedangkan semua kewajiban dipegang oleh istri. Dalam hal relasi orang tua dan Anak, dalam hukum Romawi yang dikenal dengan sebutan Patria Potestas, seorang ayah boleh berbuat apa saja yang ia inginkan terhadap anaknya. Semua hak istimewa dipegang oleh orang tau dan segala kewajiban dipegang oleh si anak.

Konsep ini, setuju atau tidak setuju, tentu tidak memungkinkan kebahagiaan dalam keluarga. Relasi suami Istri; orang tua anak berada dalam relasi tuan dan hamba. Didalamnya sangat rentan terjadi ekploitasi, menguntungkan satu pihak dan merugikan/menindas pihak lain. Allah melalui rasul Paulus, dalam teks ini, menyatakan bahwa keduanya, suami maupun istri, orang tua maupun anak memiliki hak dan tanggungjawab. Pola relasi dalam keluarga bukan tuan hamba tetapi pola kemitraan. Suami dan istri adalah mitra sejajar dalam membangun dan mengapai kebahagiaan keluarga. Pola relasai kemitraan itu dibangun di dalam Tuhan.

Bapak Ibu/Sdr/i yang terkasih, marilah kita melihat relasi antar pribadi dalam keluarga itu satu persatu:
Relasi Suami dan Istri dalam Pola Kemitraan

Relasi suami istri sebagai mitra dalam bingkai etika timbalbalik dijelaskan oleh Paulus bahwa istri harus tunduk pada suami dan suami harus mengasihi istrinya. Ketertundukan dan mengasihi itu berlangsung di dalam Tuhan.

Hai istri tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan (18). Kata tunduk tidak mengindikasikan bahwa perempuan inferior atau itu lebih rendah/lemah dari laki laki. Sebab sejak penciptaan dan pembentukan lembaga pernikahan dalam kitab kejadian ditegaskan bahwa baik laki-laki dan perempuan sama dan sepadan di hadapan Tuhan. Hal yang sama juga ditunjukkan dalam PB dalam kitab bahwa semua orang satu dalam Kristus (Galatia 3: 28). Kata tunduk lebih pada rasa hormat dan taat. Sama seperti Kristus yang tunduk, hormat, taat kepada Bapa meski dalam konsep Trinitas Allah Bapa dan Allah Anak adalah sama. Tidak ada yang lebih superior dan inferior. Ketertundukan itu dibatasi oleh ungkaan di dalam TUHAN. Jika kita bandingkan dengan ungkapan Paulus dalam Efesus 5:22 yang menyebut "hai istri tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat, Dialah yang menyelamatkan tubuh". Kita akan menyadari bahwa ketundukan istri didasarkan pada sikap suami yang menyerupai Kritus. Ketundukan Istri digambarkan sebagai ketundukan jemaat kepada Kristus. Dengan lata lain, ketundukan itu berada dalam konteks Kasih bukan dalam konteks penguassaan/penindasan. Bukan ketundukan karena terpaksa tetapi dalam kerelaan dan sukacita.

Hai suami-suami, kasihilah istrimu dan jangan berlaku kasar terhadap dia (ay.19). Bagaimana suami mengasihi istrinya? Paulus menyebutkan dalam Efesus 5:25-28 demikian: "Hai suami kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi Jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya untuk menguduskannya, sesudah ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat dihadapan diriNya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri. Siapa mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri". Dari sini jelaslah bahwa kasih suami kepada Istri haruslah:

a.     Realistis

b.    Sakrificial/pengorbanan. Tentu kasih yang rela berkorban sejajar atau bahkan lebih tinggi dari hanya sekedar tunduk. Seorang suami harus rela seperti Kristus mengorbankan dirinya dalam mengasihi istrinya. Mengorbankan perasaan, ego, waktu, hiburan, bahkan karir dalam mencitai istri.

c.     Punya Tujuan: menguduskan, menyucikan, supaya tidak bercacat. Dalam hal ini kasih suami pada istri mendorongnya untuk menguduskan istri baik secara spiritual dengan memperkenalkan Kristus dan firmannya dalam persekutuan seharihari dirumah maupun secara fisik supaya istri tidak bercacat. Itu sebabnya dilanjutkan dalam teks kita hari ini jangan berbuat kasar kepada mereka. Kasih akan menghapus kesalahan/kekurangan dan menyangkal atau meolak tindakan KDRT.

d.    Personal. Cinta kasih suami kepada istri seperti mengasihi dirinya sendiri. Bagaimana suami merawat dirinya sendiri demikianlah ia merawat sang Istri.

Pertanyaanya kemudian ialah bagaima kalau istri tidak tunduk pada suami? apakah suami berhak memukul atau belakau kasar pada istri? tentu tidak. Yang harus dikaukan adalah menghadapinya dengan kesabaran dan cinta kasih. Mendoroangnya untuk tetap hidup dalam pengenalan akan Firman Tuhan. Dengan singkat bawalah dia kembali ke gereja agar ia terbiasa tunduk pada Kristus dan dengan demikian ia tidak kesulitan untuk tunduk pada suami. Sebaliknya bagaimana jika suami tidak mengasihi istrinya? apakah si istri jadinya tidak tunduk dan melawan suami? Seharusnya si istri tetap tunduk sambail terus mendokan suami dan mengingatkan sumai akan aturan relasi suami istri sebagaimana disebutkan dalam alkitab dan sebisa mungkin menghindari perbantahan. Rasul Petrus menasihatkan demikian: Demikianlah juga kami, hai istri istri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada diantara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakukan istrinya, jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup istri mereka itu.(1 Pet. 3:1-2)

Relasi orangtua dan Anak: Keseimbangan antara Disiplin dan Dorongan Semangat

Hai anak-anak taiatilah orang tua mu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan(ay.20). Kesadaran akan identias kita sebagai anak Allah yang menaati Allah mempengaruhi atau berdampak pada ketaaatan kita kepada orang tua dalam segala hal. Ketaatan kepada orang tua tentu didasarkan pada firman Allah yang sudah ada sejak PL dalam titah yang ke lima. Menaati orang tua dalam segala dengan demikian bukan menjadi ketaaatan buta. Ketaatan itu berdasar pada kebenaran dan iman pada Tuhan yang pertamatam ditunjukkan oleh orang tua. Ketika orang tua dan pemilik otoritas lain di masyarkat tidak menaati Allah, maka mereka tentau tidak patur untuk ditaati. Rasul Petrus, ketika kaum Farisi dan Mahkamah agama melarang mereka mengajar dalam nama Yesus, juga mengatakan bahwa: kita harus lebih taaat keada Allah daripada kepada manusia (Kis. 5:29b). Ketaatan kepada orang tua dengan demikian merupakan respons atas sikap dan ketaatan orang tua kepada Tuhan. Tujuan ketaatan pada orang tua adalah untuk menyenangkan hati TUHAN. Memang, keluarga sebagai lembaga terkecil di masyarakat menjadi gambaran dari masyarakat secara umum. Jika seorang anak tunduk pada orang tua yang merupakan pemegang otoritas di keluagra, maka sang anak juga tidak kesulitan untuk menaati otoritas lain di luar rumah dan sebaliknya. .

Salah satu yang menarik dari perintah ini adalah mengulik kondisi peribadahan di masa gereja awal. Kita tahu bahwa surat Kolose ini adalah surat kiriman Paulus untuk dibacakan dalam ibadah umat percaya di Kolose. Melihat bahwa kalimat hai anak2 taatilah orang tua mu...berbentuk kalimat langsung, maka patutlah disebut bahwa memang pada masa itu, anak-anak beribadah bersama dengan orang tua mereka. Anak-anak bersama berangkat dan ibadah bersama sebagai sebuah keluarga. Meski tidak salah ada ibadah SM, Remaja dan Pemuda, tetapi suasana beribadah sebagai satu keluarga di gerja tentu memberi kesan baik tersendiri.

Hari Senin yang lalau dalam kelas intensif katekisasi sidi saya menugaskan katekumen untuk menuliskan pengalaman dan kesan yang mereka peroleh selama ibadah di rumah di masa korona ini. Salah satu kesan mereka cukup menggembirakan. Sebagain besar mensyukuri ibadah di rumah sebagai ibadah yang menjawab kerinduan mereka. Kerinduan beribadah, baik kebaktian minggu maupun kebaktian sektor, sebagai keluarga utuh. Kerinduan mendengar orangtua mereka terlebih ayah mereka memimpin doa, kerinduan berkumpul bersama memuji Tuhan dan mendengar Firman/khotbah secara bersamasama sebagai sebuah keluarga yang utuh. Sebelum Korona, hal itu nampaknya sangat jarang terjadi.

hai bapa bapa janganlah sakiti hati/provoke anakmu, supaya jangan taar hatiya (ay.21). Kata bapa di sini juga menunjuk pada orang tua baik ayah maupun ibu. Orang tua bisa menyakiti hati anak dalam beberapa bentuk seperti: tidak mendisiplinkan anak, berlaku kasar baik secara fisik maupun psikis, suka marah tanpa mau memuji, tidak memperhatikan/mengabaikan anak baik karena pekerjaan atau karena alasan lain. Memang banyak orang tua yang salah mengartikan perhatian. Sering sekali orang tua mengabaikan anak hanya karena memenuhi kebutuhan ekonomi sang anak. Mereka lupa anak juga butuh perhatian kasih sayang, waktu bersama orang tua, beribadah bersama, dll. Anak yang sering diabaikan orang tua akan tawar hati dan kurang kasih sayang. Dampaknya ia kan minder dengan orang lain, suka membandingkan diri dengan temannya, mencari sosok orang tua di luar rumah yang bisa membuat mereka jatuh pada pergaulan yang salah, dll.

Proses pengabaian anak juga sering dilakukan dengan pemberian kompensasi misalnya, les tambahan, mainan, fasilitas sepeti kendaraan, ATM, dll. Padahal kehadiran orang tua jauh lebih berharga membangun hidup anak daripada segala fasilitas yang terbaik sekalipun. Pengabagian anak sesungguhnya bisa berdamapak sangat tragis. Dalam kisah Alkitab, DAUD yang mengabaikan Absalom harus merima kenyataan bahwa Absalom memberontak dan mencoba membunuhnya. Ketika seorang anak DAUD memperkosa putrinya sendiri, ia tidak melakukan apapapa, dengan kata lain ia mengabaikan pemerkosa itu, maka Absalom saudara lakilaki yang diperkosa itu membunuh saudaranya sendiri pelakau pemerkosa itu. Betapa runyamnya dampak ketidakpedulian pada Anak.

Selain itu, orang tua dapat menyakiti hati anaknya ketika orang tua tidak pernah memberi semangat dan penghargaan atas apa yang dilakukan/dicapai sang anak. Orang tua yang benar dan baik adalah orang tua yang mendisiplinkan anaknya tetapi juga memberi hadiah dan dorongan semangat secara seimbang. Martin Luther mengatakan: Simpanlah Rotan, dan engkau akan merusak anak.Ini sungguh benar.Namun, disamping rotan berilah Apel kepadanya ketika ia melakukan yang baik"

Orang tua dapat menyakiti hati anaknya jika mereka berlaku tidak adil pada semua anaknya. Jika orang tua memiliki anak yang lebih dimanja atau difavoritkan, ada anak yang selalu dibanggakan dan anak yang lain selalu direndahkan dengan membanding-bandingkan pencapaian mereka dan itu dipakai untuk merendahkan anak yang kurang berprestasi. Dalam bahasa Batak pangalaho na MARDINGKAN sering membuat anak sakit hati dan bisa saja merencanakan hal yang tidak baik. Gambaran sedemikain dapat kita lihat dalam kisah Yakub yang sangat mengasihi Yusuf melebihi saudaranya yang lain. Dampaknya, saudaranya yang lain, iri, marah dan akhirnya sebagai balas dendam, mereka melakukan tindakan yang tidak terpuji dengan menjual Yusuf ke Mesir.  Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar