Cintailah Pendidikan
(Lukas 6:39-42)
Bapak/Ibu/Saudara/i yang dikasihi Tuhan Yesus Kristus,
Berbicara tentang pendidikan tentunya tidaklah hal baru bagi kita. Setiap hari kita memperbincangkan dan menjalani pendidikan dalam hidup ini. Terlebih dibulan Juli seperti saat ini, kita disibukkan dengan proses penerimaan peserta didik disemua tingkatan. Keriuhan percakapan tentang pendidikan yang sedang terjadi karena proses penerimaan siswa baru adalah salah satu indikasi bahwa masyarakat membutuhkan dan mencintai pendidikan. Hanya orang yang tidak mencintai pendidikanlah yang tidak peduli pada kebobrokan sistem penerimaan peserta didik dan sistem pendidikan yang ada.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai sebuah proses ataupun tahapan dalam pengubahan sikap serta etika maupun tata laku seseorang atau kelompok dalam meningkatkan pola pikir manusia melalui pengajaran dan pelatihan serta perbuatan yang mendidik. Dari definisi ini kita dapat melihat beberapa dimensi dari pendidikan itu sendiri yakni: Transfer of knowledge, transformasi, keteladanan, regenerasi,pembebasan, dll. Dalam setiap pengajaran Yesus, seperti dalam teks renungan kita minggu ini yakni Lukas 6: 39-42, kelima dimensi itu senantiasa muncul. Kelima dimensi ini, dapat kita lihat dalam tiga bagian pengajaran Yesus dalam teks kita saat ini.
Pendidikan sebagai Proses Menuntun
Pengajaran Yesus dalam teks ini dimulai dengan sebuah perumpaan: "dapatkah orang buta menuntun orang buta? bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lubang? (ay. 39). Ungkapan ini tentu mudah kita pahami bahwa tidak mungkin orang buta menuntun orang buta sebab keduanya tidak dapat melihat jalan. Jika keduanya berjalan bersama akan berujung celaka. Oleh karena itu, dibutuhkan orang yang bisa melihat jalan untuk menuntun mereka ke jalan yang benar. Kebutaan tentu tidak hanya berkaitan dengan fisik/mata saja tetapi bisa pada hal-hal lain misalnya buta huruf. Orang yang buta huruf tentu tidak bisa mengajari orang buta huruf untuk membaca. Oleh karena itu, dibutuhkan seorang yang melek huruf untuk mengajari mereka. Dalam hal ini, tuntunan orang yang melek huruf itu bisa bermakna transfer pengetahuan dari sang guru kepada murid sekaligus tranformasi dan pembebasan kehidupan sang murid. Selanjutnya sang murid diharapkan mampu menjadi penuntun bagi orang lain (regenerasi).
Melihat konteksnya, ungkapan ini pertamatama adalah bagian dari pengajaran Yesus kepada para murid yang kemudian akan menjadi pemimpin umat yang percaya kepada Yesus. Dalam konteks pendidikan, Yesus sedang mempersiapkan para murid (regenerasi) untuk melanjutkan pekerjaan kerajaan Allah di dunia ini. Sebagai calon pemimpin, para murid juga perlu melihat para pemimpin agama dijaman mereka. Dalam dimensi yang demikian, kita bisa bertanya siapakah yang dimaksud Tuhan Yesus sebagai orang buta? Memang dalam teks kita hal itu tidak dijelaskan, akan tetapi jika membaca Matius 15:12-14;23:16,24 kita bisa melihat bahwa sebutan orang buta ditujukan Yesus kepada orang Farisi yang secara fisik bisa melihat tetapi buta secara rohani. Orang Farisi, meski bukan orang yang tidak mengetahui Firman dan hukum taurat, digambarkan sebagai orang/pemipin buta. Mereka dibutakan fanatisme, kesombongan, merasa superior dari yang lain, dan sikap mau menang sendiri yang pada akhirnya gemar menghakimi. Mereka buta bukan karena tidak tahu tetapi karena tidak melakukan apa yang mereka tahu tentang Firman Allah. Yesus mencela mereka sebagai pemimpin buta karena memiliki standar ganda dalam menerapkan firman dan hukum taurat.
Karena kebutaannya, orang Farisi tidak akan mungkin bisa membawa umat yang buta dalam hal ajaran agama ke jalan yang benar. Yesus sedang mengingatkan para murid supaya tidak seperti orang Farisi. Para Murid diajar agar memahami dan menerapkan Firman Tuhan secara utuh, tidak jatuh pada kesombongan, fanatisme, mau menang sendiri. Sebab sikap demikian akan membawa mereka pada tindakan mudah menghakimi dan merasa benar sendiri, otoriter dan membawa celaka bagi umat yang dipimpin. Kebutaan dalam teks ini dengan demikian berkaitan dengan pemahaman, penerimaan, dan penerapan firman Allah dan jalan keselamatan. Kebutaan itu disebabkan dosa yang mewujud dalam kesombongan, fanatisme sempit, sikap mau menang sendiri, cinta uang, dsb.
Orang berdosa yang buta akan kebenaran dan sorga tidak akan dapat menuntun orang berdosa. Yesus sang kebenaran dan yang datang serta kembali ke sorga adalah guru yang mampu menuntun umat manusia pada kebenaran dan sorga. Dalam hal ini dapat disimpulkan pengajaran Yesus sebagai proses menuntun dan mencelikkan Murid dan selanjutnya murid yang akan menjadi guru/pengajar/pemimpim menuntun pada tujuan yang jelas dan mencelikkan umat yang dipimpinnya.
Pertanyaan penting saat ini adalah, sebagai pendidik/pemimpin/penuntun dampak apa yang kita (pendeta, pentua, orang tua, pejabat, dll) beri kepada orang yang kita pimpin? Kecelakaan atau kebahagian? Sebaliknya ketika kita dituntun orang "buta" ke dalam celaka, mengapa pula kita bungkam dan sepetinya nyaman di tengah celaka itu?. Dalam proses regenerasi di semua aras GKPI yang sedang dan akan kita lakukan sangatlah penting menyadari bahwa seorang pemimpin harus paham dan mampu melakukan tupoksi dan memiliki visi, tujuan yang jelas membawa gereja dan umat pada jalan yang benar sesuai kehendak Tuhan. Pemilihan pemimpin di jemaat hingga sinode tidak bisa dilakukan seperti memilih kucing di dalam karung dan memilih atas dasar primordialisme dan ketertundukan buta.
Pendidikan: Proses Meneladani
Selanjutnya Yesus mengatakan: "Seorang murid tidak lebih dari gurunya, tetapi barang siapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya" (ay.40). Hal yang pertama terlintas dalam benak saya ketika merenungkan teks ini adalah bahwa murid merupakan cerminan dari sang guru. Pemikiran, gaya bicara, tulisan, perilaku murid sangat banyak dipengaruhi gurunya. Murid menjadi cerminan guru ini diperoleh melalui proses belajar, baik dengan cara hidup bersama, mendengar pengajaran, melihat pola hidup, merenungkan dan menghayati pengajaran dan pola hidup guru, memberlakukan dan mengembangkan pengajaran tersebut. Disini terlihat bahwa proses pendidikan juga sangat erat berkaitan dengan keteladanan. Sang murid yang menjadi cerminan gurunya adalah murid yang meneladani/meniru/mengikuti teladan gurunya. Sebaliknya guru harus menjadi teladan dalam pengajaran dan perilakunya sehari-hari. Jika seorang guru tidak bisa menjadi teladan dalam pengajaran dan perilaku tentu bisa terjadi sang murid berseberangan dengan sang guru dan mengembangkan pengajaran yang berbeda.
Dalam teks ini, Yesus bertindak sebagai guru dan para murid Yesus sebagai bertindak sebagai murid. Jelaslah terlihat bahwa para murid diminta untuk meneladani Yesus sepanjang hidup. Kata telah tamat dalam teks ini berati menjadi sama seperti Yesus dalam setiap gerak hidupnya. Setelah mengajar murid supaya tidak seperti orang Farisi, kini Yesus mengajar mereka dan orang percaya disepanjang masa untuk memberlakukan dan menghidupi apa yang dilakukan dan dihidupi Yesus sang Guru Agung itu. Mengajar mereka supaya memiliki visi dan tujuan seperti Yesus, yakni visi Kerajaan Allah. Menjadi teladan bagi semua umat dalam cinta kasih, penyangkalan diri, kerendahan hati, bekerja keras, dll. Hal ini dapat dilakukan ketika mereka terus menerus terhubung dalam persekutuan dengan Yesus dan FirmanNya.
Menarik untuk merefleksikan hal ini dalam kehidupan umat percaya hari ini. Apakah para pendidik dan pemimpin kita baik dalam konteks sinode, resort, jemaat, keluarga, bangsa, sekolah, kantor, dlsb telah menerapkan metode keteladanan ini? yang dalam kepemimpinan dikenal istilah leading by example yang lebih mujarab dari pada memimpin hanya dengan kata dan perintah.
Dari ayat 39-40 ini, dalam konteks regenersi dan kepemimpinan gereja terlihatlah yang diinginkan Yesus adalah pemimpin yang mengusai pengajaran dan meneladani Yesus. Pemimpin yang mampu memberikan teladan dan tuntunan bagi yang dipimpinnya. Pemimpin yang rendah hati dan mau menyangkal diri bukan pemimpin yang haus kekuasaan dan menyalahgunakan wewenang dan kekuasan. Bukan pemimpin yang buta ajaran Yesus, buta peraturan organisasi, tidak memiliki visi dan tujuan yang jelas, apalagi pimpinan yang buta mata hatinya dan yang dibutakan oleh dosa, serta bukan pemimpin NATO yang suka dengan pepesan kosong dan melakukan pembodohan dan kebohongan.
Pendidikan: Transformasi diri dan sesama
Umat percaya dalam kehidupan bergereja dan dalam dunia pendidikan pun tidak benar jika menjalani kehidupan dalam ketaatan buta terhadap para pemimpin dan guru di dunia ini. Diperlukan sikap kritis tetapi jangan sampai jadi tukang kritik. Sikap kritis adalah sikap yang mampu melihat kelemahan pada diri sendiri, orang lain, pemimpin dan bersedia memberi solusi. Sebaliknya tukang kritik adalah sikap yang hanya melihat kesalahan orang lain dan tidak mau memberi solusi. Sikap kritis sangat membangun tetapi tukang kritik sering malah meruntuhkan.
Hal itulah yang kemudian dapat kita lihat dari ungkapan Yesus tetang selumbar dan balok di ayat 41-42. Disini, pendidikan itu berkenaan dengan pengenalan dan transformasi diri dan sesama. Yesus mengajari murid agar kiranya tidak sibuk menuding, menyalahkan, menghakimi kekurangan orang lain tetapi tidak melihat kekurangan dirinya sendiri. Yesus menekankan langkah utama untuk menolong orang lain adalah dengan mengintrofeksi diri. Sebab tidak mungkin memperbaiki kesalahan orang lain (selumbar dimata saudara) kalau kesalahan dan kekurangan sendiri (balok di matanya) tidak diperbaiki. Tidak mungkin mengubah orang lain jika diri sendiri belum berubah. Karena balok yang ada dimatanya membuat pandagannya tidak jelas dan tidak bisa pula mengeluarkan selumbar di mata saudaranya. Sikap yang demikian disebut Yesus sebagai sikap munafik, sok kudus, dan merasa benar sendiri. Sikap demikian berpotensi memicu pertengkaran yang berujung celaka!
Sibuk melihat kesalahan orang lain tanpa intropeksi diri tentunya sangat merugikan baik pada diri sendiri maupun dalam relasi denga sesama. Hal ini berlaku pada siapa saja lebih lebih kepada para pemimpin umat supaya tidak sibuk mengumpat dan mencipta relasi yang pampat. Mari lebih dulu mengintropeksi diri agar setiap relasi sehat dan membangun, bukan sebaliknya sakit dan meruntuhkan. Pendidikan dengan demikian bukan hanya soal menilai, menyalahkan dan merubah orang lain tetapi pertamatama menilai dan merubah diri sendiri. Proses pendidikan adalah proses saling belajar, menajamkan, dan mengubah. Jika pun ada kesalahan dan kekurangan orang lain, kesalahan itu pertama-tama harus digunakan untuk memperbaiki diri kemudian menegur orang yang salah tersebut serta memberi solusi pada kesalahan dan kekurangan mereka.
Ketika masih Vikar tahun pertama di Kantor Sinode tahun 2008, saya menemukan sebuah pesan penting dari seorang pendeta: "dalam proses belajar ini, catatlah hal-hal apa yang tidak benar dari para pembimbingmu dan tekadkan dalam hati bahwa itu tidak akan engkau lakukan. Sebaliknya catat pula hal-hal yang baik dari mereka dan tekadkan dalam hatimu untuk melakukan dan mengembangkannya. Pesan ini sangat penting karena sering terjadi, baik di gereja maupun di ranah sosial politik, seseorang (mis. calom Pimpinan Sinode, Calon Bupati) yang sangat rajin mendaftar dan mengkritik kesalahan "penguasa" malah melakukan apa yang mereka kritik setelah mereka diberi dan berada dalam kekuasaan. Sangat penting mencatat, mengkritisi kesalahan orang lain tetapi diikuti dengan tekad untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kekuasaan sering "membutakan" manusia.
Kesalahan/Kekurangan Kunci Kesuksesan
Salah satu kunci kesuksesan adalah kemampuan kita mengenali kelemahan dan memebenahinya. Konon, salah satu kunci kesuksesan perusahaan TOYOTA memperoduksi mobil adalah ketika mereka senantiasa mengintropeksi produk mereka. Setiap ada produk baru yang diluncurkan ke pasaran maka akan ada tim yang akan memeriksa dan mencari kelemahan produk tersebut. Ini mereka sebut dengan istilah "KUNCI EMAS". Mereka tidak sibuk mencari kelemahan produk pabrik mobil yang lain dan memburukkan pabrik tersebut, sebaliknya mencari kelemahan produk mereka. Kelemahan yang ditemukan dicatat kemudian akan dicari cara untuk menghapus kelemahan itu. Demikian seterusnya hingga produk mereka akan semakin hebat setiap generasi dan siap bersaing disetiap masa. Sejak anak-anak kita mungkin sudah mengenal produk mobil Toyota. Misalnya: kijang toyota petak, kijang toyota jantan, kijang kapsul, hingga innova. Semuanya semakin baik dan hebat.
Keterbukaan TOYOTA untuk jujur melihat dan membenahi kelemahan produk mereka juga menjadi kemampuan mereka terus belajar dan beradaptasi pada kemajuan. Meski dunia otomotif makin hari makin maju, Toyota selalu hadir dan tidak tersingkir. Mereka belajar sepanjang jalan kehidupan dan tidak puas pada apa yang sudah diraih.
Hidup gereja sebagai paguyuban orang beriman yang berguru pada Yesus harusnya belajar sepanjang jalan hidupnya (long life education). Jujur pada diri sendiri, terbuka mengintropeksi diri, terbuka melihat dan membenahi kelemahan yang ada meski tidak harus mengumbar kekurangan. Tidak baik gereja menutupi kekurangan apalagi denganc ara mengumbar kesalahan pihak lain. Di dunia yang semakin canggih dengan perkembangan tehnologi ini, gereja harus cermat dan tanggap akan perubahan, beradaptasi dan berinovasi jika tidak ingin tersingkir dan tertunduk meratapi nasib. Gereja dan pemimpin gereja tidak bisa lagi puas dan menetap dalam pola tradisional kalau tidak ingin dilindas oleh jaman.
Pemimpin gereja harus mampu melihat jauh ke depan sembari mempersiapkan sumber daya yang dibutuhkan. Mempersiapkan kader-kader (regenerasi) yang mampu menguasai bidang tertentu baik teologi, teknologi, ekonomi dan sebagainya. Pimpinan gereja tidak saatnya lagi hanya bercokol pada primordialisme dan menjaga kenyamanan posisinya saja, apalagi ada ketakutan setelah tidak menjabat lagi. Sebaliknya pemimpin gereja menjadi teladan dan memiliki sikap transformatif yang mencintai pendidikan dalam artian mau dan mampu melakukan yang terbaik demi pendidikan dan hadir terus menerus. Hal ini sangat penting supaya kita sebagai pemimpin umat senantiasa melek perkembangan dan mampu mencelikkan/membuat mata umat melek melihat perkembangan. Untuk itu marilah kita senantiasa belajar, merenungkan, dan memberlakukan Firman dalam hidup hita, saling menuntun, berlomba menjadi teladan, mengenal dan mentranformasi diri sendiri dan orang lain. Jangan mau dibutakan oleh dosa dalam segala wujudnya.
Tuhan kiranya menolong dan memberkati kita. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar