Bertemu Tuhan dalam Sepi dan Sedih
Yoh. 20:15-16
Dua kata
yang sering diperbincangkan dan diberitakan di tengah Covid -19 ini adalah kata
SEPI dan SEDIH. Ya, jalanan sepi, jualan pun sepi, mall sepi, kedai dan cafe coffee yang belakangan banyak muncul di
Doloksanggul sepi, orderan kerja sepi, dll. Tadi pagi untuk pertama sekali
setelah 9 tahun menjalani kependetaan, saya memimpin ibadah pemberkatan
pernikahan yang sepi, karena berbagai pembatasan hanya dihadiri kurang lebih 30
orang. Tidak ada koor, tidak ada pendamping pengantin, dan tentunya tidak ada
pesta.
Dua hari
lalu saya membaca sebuah berita, seorang penjual sepatu keliling menangis
karena jualannya sepi. Iapun bingung mau cari uang di mana. Semalam, di facebook saya juga melihat para pedagang koran di lampu merah mengeluh
karena jalanan sepi berdampak pada jualan mereka yang sepi tidak laku. Terlihat
raut wajah sedih. Saya membayangkan anak-anaknya menantikan beliau dirumah
dengan penuh harap, membawa sekantong beras untuk mengisi perut yang juga sudah
sepi. Sepi dan sedih menjadi hal yang jamak terdengar dan terlihat dimasa
pandemi Covid -19 ini.
Merenungkan
kondisi sepi dan sedih ini saya mengajak kita untuk merenungkan kembali Firman
Tuhan berikut ini: Kata Yesus kepadanya:
"Ibu mengapa engkau menangis? siapakah yang engkau cari? Maria menyangka
orang itu adalah penunggu taman, lalu berkata kepadaNya: "Tuan, jikalau
tuan yang mengambil Dia, katakanlah kepadaku, dimana tuan meletakkan Dia,
supaya aku dapat mengambil-Nya." Kata Yesus kepada-Nya: "
Maria!" Maria berpaling dan berkata kepada-Nya dalam bahasa Ibrani:
"Rabbuni", artinya Guru! (Yoh. 20: 15-16). Teks ini adalah
penggalan dari kisah Kebangkitan Yesus. Dalam teks ini, kondisi sepi dan sedih
menyatu. Suasana sepi subuh itu bergandengan dengan rasa sedih Maria yang
kehilangan guru dan Tuhan-Nya yang mati, dan kini -dalam pemahamannya yang sedih
itu-, jasad Yesus pun hilang. Betapa pilu dan sedihnya itu!
Pandangan Maria
yang terus menerus tertuju pada Kematian Yesus membuat dia tidak bisa melihat
dan mendengar dengan baik di pagi yang sepi itu. Ia telah berbincang dengan
Yesus yang bangkit, ia malah menuduh Yesus sebagai pencuri mayat Yesus. Betapa
suasana sepi dan sedih itu membuatnya jatuh pada titik nadir sampai harus
menuduh TUHAN. Kemudian Yesus memanggil dia dengan namanya MARIA! Ia menoleh
dan tersadar dan memanggil Yesus Rabuni. Ia kemudian ingin memeluk Yesus karena
sukacitanya. Dalam sepi dan sedih itu, IA BERTEMU DENGAN TUHAN YANG BANGKIT dan
mengubah sepi dan sedih itu dengan SUKACITA. Ya, sukacita kebangkitan terjadi
pada kondisi sepi dan sedih. Pandangan Maria tidak lagi pada sedihnya kematian
tetapi pada sukacita kehidupan.
Dalam
kondisi sepi dan sedih yang kita hadapi karena Covid -19 ini, bisa saja kita
tanggapi dengan dua cara. Pertama, seperti Maria yang dikuasai
sepi dan sedih itu kita malah menuduh TUHAN tidak PEDULI bahkan telah mencuri
KEHIDUPAN kita. Meninggalkan-Nya dan berpaling melakukan kejahatan. SEPI dan SEDIH
akhirnya menjadi SURAM. Kedua, kita akan memaknai sepi dan sedih
itu sebagai cara dan kesempatan untuk bertemu dengan TUHAN. Sepi dan sedih yang
kita hadapi kita pakai untuk semakin banyak berbincang dengan Tuhan dan
menunggu Ia memanggil nama kita, agar berpaling pada Kehidupan dan suka cita.
Sepi dan Sedih berakhir menjadi SENYUMAN. Sepi dan sedih kita pakai untuk
merenungkan betapa Tuhan juga telah dan akan mengirim pertolongan. Memang tidak
YESUS yang muncul tiba-tiba di depan kita, tapi ada begitu banyak perantara
yang diutusnya, hati yang terbuka untuk membantu sesama.
Dalam kisah
pedagang sepatu keliling yang saya sebut di atas, diapun menangis terharu
karena orang yang ’mewawancarainya” memberi dia makan dan sekantong beras.
Penjual koran diperempatan lampu merah, tersenyum sambil berkata: "trimakasih
ya om", karena ia memperoleh paket makan siang dan juga sekantong beras
untuk mengisi perutnya dan perut anaknya yang juga telah sepi. Dalam sepi dan
sedih itu, DIA HADIR dalam berbagai bentuk menolong dan melukis senyum dan
syukur diwajah umat ciptaanNya yang menderita. Dalam sepi dan sedih itu, kita
sadar bahwa banyak yang tidak bisa lakukan, hidup tidak hanya bergantung pada
usaha kita, apa yang kita punya tidak hanya untuk hidup kita, tetapi juga untuk
orang lain.
Dalam
renungan pemberkatan yang "sepi" tadi pagi saya menekankan bahwa sukacita
pernikahan tidak ditentukan oleh semaraknya pemberkatan dan pesta. Pemberkatan
yang sunyi dan sepipun bisa dinikmati dalam sukacita, jika memang benar-benar pernikahan
ini dilandasi pada keyakinan bahwa
Tuhan yang mempersatukan. Pemberkatan
yang sepi bisa mendatangkan sukacita jika menyadari pernikahan ini adalah momen
perjumpaan dengan Tuhan. Seperti perjumpaan Maria dan Yesus di pagi yang sepi
di kubur yang menandakan kesedihan itu.
Akhirnya, dalam sepi dan sedih kita hari ini,
sudahkah kita berbincang dan bertemu dengan Tuhan? sudakah kita melukis senyum
diwajah kita terlebih melukiskan senyum di wajah sesama? Yakinlah sepi dan
sedih ini akan berakhir dan berujung pada senyum dan syukur. Sebab Tuhan
memanggil kita mengalihkan pandangan dari kematian menuju kehidupan. Hari ini, kita
mengenang Ibu Kartini pejuang emansipasi perempuan dalam kegelapan penjajahan
dan diskriminasi yang menyerukan semangat habis
gelap terbitlah terang. Bukankah peristiwa paskah juga demikian?
Ingatlah kita tidak harus menunggu supaya
kegelapan ini pergi tetapi kita harus menoleh ke dalam terang dan berangkat
menuju terang. Kita tidak bisa hanya berpangku tangan menunggu terang datang,
menunggu bantuan datang tanpa melakukan apaapa. Di sisi lain kita harus
tergerak menjadi terang membantu menerangi kegelapan hati, pikiran orang lain.
Paling tidak dengan doa dan semangat, kalaupun belum bisa memberi dari apa yang
ada pada kita. Tetaplah tenang menjadi terang dalam sepi dan sedih bersama
Tuhan yang telah menaklukkan sepinya kubur dan sedihnya kematian.
Selamat malam, selamat beristirahat, Tuhan
memberkati kita, kini dan disini. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar