Kamis, 14 Mei 2020

Bertemu Tuhan dalam Sepi dan Sedih


Bertemu Tuhan dalam Sepi dan Sedih
Yoh. 20:15-16
Dua kata yang sering diperbincangkan dan diberitakan di tengah Covid -19 ini adalah kata SEPI dan SEDIH. Ya, jalanan sepi, jualan pun sepi, mall sepi, kedai dan cafe coffee yang belakangan banyak muncul di Doloksanggul sepi, orderan kerja sepi, dll. Tadi pagi untuk pertama sekali setelah 9 tahun menjalani kependetaan, saya memimpin ibadah pemberkatan pernikahan yang sepi, karena berbagai pembatasan hanya dihadiri kurang lebih 30 orang. Tidak ada koor, tidak ada pendamping pengantin, dan tentunya tidak ada pesta.
Dua hari lalu saya membaca sebuah berita, seorang penjual sepatu keliling menangis karena jualannya sepi. Iapun bingung mau cari uang di mana. Semalam, di facebook saya juga melihat  para pedagang koran di lampu merah mengeluh karena jalanan sepi berdampak pada jualan mereka yang sepi tidak laku. Terlihat raut wajah sedih. Saya membayangkan anak-anaknya menantikan beliau dirumah dengan penuh harap, membawa sekantong beras untuk mengisi perut yang juga sudah sepi. Sepi dan sedih menjadi hal yang jamak terdengar dan terlihat dimasa pandemi Covid -19 ini.
Merenungkan kondisi sepi dan sedih ini saya mengajak kita untuk merenungkan kembali Firman Tuhan berikut ini: Kata Yesus kepadanya: "Ibu mengapa engkau menangis? siapakah yang engkau cari? Maria menyangka orang itu adalah penunggu taman, lalu berkata kepadaNya: "Tuan, jikalau tuan yang mengambil Dia, katakanlah kepadaku, dimana tuan meletakkan Dia, supaya aku dapat mengambil-Nya." Kata Yesus kepada-Nya: " Maria!" Maria berpaling dan berkata kepada-Nya dalam bahasa Ibrani: "Rabbuni", artinya Guru! (Yoh. 20: 15-16). Teks ini adalah penggalan dari kisah Kebangkitan Yesus. Dalam teks ini, kondisi sepi dan sedih menyatu. Suasana sepi subuh itu bergandengan dengan rasa sedih Maria yang kehilangan guru dan Tuhan-Nya yang mati, dan kini -dalam pemahamannya yang sedih itu-, jasad Yesus pun hilang. Betapa pilu dan sedihnya itu!
Pandangan Maria yang terus menerus tertuju pada Kematian Yesus membuat dia tidak bisa melihat dan mendengar dengan baik di pagi yang sepi itu. Ia telah berbincang dengan Yesus yang bangkit, ia malah menuduh Yesus sebagai pencuri mayat Yesus. Betapa suasana sepi dan sedih itu membuatnya jatuh pada titik nadir sampai harus menuduh TUHAN. Kemudian Yesus memanggil dia dengan namanya MARIA! Ia menoleh dan tersadar dan memanggil Yesus Rabuni. Ia kemudian ingin memeluk Yesus karena sukacitanya. Dalam sepi dan sedih itu, IA BERTEMU DENGAN TUHAN YANG BANGKIT dan mengubah sepi dan sedih itu dengan SUKACITA. Ya, sukacita kebangkitan terjadi pada kondisi sepi dan sedih. Pandangan Maria tidak lagi pada sedihnya kematian tetapi pada sukacita kehidupan.
Dalam kondisi sepi dan sedih yang kita hadapi karena Covid -19 ini, bisa saja kita tanggapi dengan dua cara. Pertama, seperti Maria yang dikuasai sepi dan sedih itu kita malah menuduh TUHAN tidak PEDULI bahkan telah mencuri KEHIDUPAN kita. Meninggalkan-Nya dan berpaling melakukan kejahatan. SEPI dan SEDIH akhirnya menjadi SURAM. Kedua, kita akan memaknai sepi dan sedih itu sebagai cara dan kesempatan untuk bertemu dengan TUHAN. Sepi dan sedih yang kita hadapi kita pakai untuk semakin banyak berbincang dengan Tuhan dan menunggu Ia memanggil nama kita, agar berpaling pada Kehidupan dan suka cita. Sepi dan Sedih berakhir menjadi SENYUMAN. Sepi dan sedih kita pakai untuk merenungkan betapa Tuhan juga telah dan akan mengirim pertolongan. Memang tidak YESUS yang muncul tiba-tiba di depan kita, tapi ada begitu banyak perantara yang diutusnya, hati yang terbuka untuk membantu sesama.
Dalam kisah pedagang sepatu keliling yang saya sebut di atas, diapun menangis terharu karena orang yang ’mewawancarainya” memberi dia makan dan sekantong beras. Penjual koran diperempatan lampu merah, tersenyum sambil berkata: "trimakasih ya om", karena ia memperoleh paket makan siang dan juga sekantong beras untuk mengisi perutnya dan perut anaknya yang juga telah sepi. Dalam sepi dan sedih itu, DIA HADIR dalam berbagai bentuk menolong dan melukis senyum dan syukur diwajah umat ciptaanNya yang menderita. Dalam sepi dan sedih itu, kita sadar bahwa banyak yang tidak bisa lakukan, hidup tidak hanya bergantung pada usaha kita, apa yang kita punya tidak hanya untuk hidup kita, tetapi juga untuk orang lain.
Dalam renungan pemberkatan yang "sepi" tadi pagi saya menekankan bahwa sukacita pernikahan tidak ditentukan oleh semaraknya pemberkatan dan pesta. Pemberkatan yang sunyi dan sepipun bisa dinikmati dalam sukacita, jika memang benar-benar pernikahan ini dilandasi pada keyakinan bahwa Tuhan yang mempersatukan. Pemberkatan yang sepi bisa mendatangkan sukacita jika menyadari pernikahan ini adalah momen perjumpaan dengan Tuhan. Seperti perjumpaan Maria dan Yesus di pagi yang sepi di kubur yang menandakan kesedihan itu.
Akhirnya, dalam sepi dan sedih kita hari ini, sudahkah kita berbincang dan bertemu dengan Tuhan? sudakah kita melukis senyum diwajah kita terlebih melukiskan senyum di wajah sesama? Yakinlah sepi dan sedih ini akan berakhir dan berujung pada senyum dan syukur. Sebab Tuhan memanggil kita mengalihkan pandangan dari kematian menuju kehidupan. Hari ini, kita mengenang Ibu Kartini pejuang emansipasi perempuan dalam kegelapan penjajahan dan diskriminasi yang menyerukan semangat habis gelap terbitlah terang. Bukankah peristiwa paskah juga demikian?
Ingatlah kita tidak harus menunggu supaya kegelapan ini pergi tetapi kita harus menoleh ke dalam terang dan berangkat menuju terang. Kita tidak bisa hanya berpangku tangan menunggu terang datang, menunggu bantuan datang tanpa melakukan apaapa. Di sisi lain kita harus tergerak menjadi terang membantu menerangi kegelapan hati, pikiran orang lain. Paling tidak dengan doa dan semangat, kalaupun belum bisa memberi dari apa yang ada pada kita. Tetaplah tenang menjadi terang dalam sepi dan sedih bersama Tuhan yang telah menaklukkan sepinya kubur dan sedihnya kematian.
Selamat malam, selamat beristirahat, Tuhan memberkati kita, kini dan disini. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar