Selasa, 19 Mei 2020

MUDIK


MUDIK
(Kel. 12:4; Kis Rasul 2: 46)
Beberapa Minggu yang lalu  ada perdebatan hangat di tengah masyarakat tentang istilah mudik dan pulang kampung. Bagi sebagian orang keduanya memiliki arti yang sama, tetapi bagi yang lain keduanya berbeda. Mudik adalah suatu masa kita kembali untuk sementara ke tempat asal setelah beberapa lama pergi merantau. Mudik dengan kata lain adalah pulang kampung sementara. Maka, seperti biasa kita lihat dalam bulan-bulan tertentu, seperti bulan Ramadhan, masa Natal atau Tahun Baru, arus mudik akan diikuti dengan arus balik, yakni masa kembali ke tempat hidup sehari hari. Tempat dimana ia mencari nafkah dan hidup bersama keluarga. Maka masa mudik bukanlah masa di mana kita kembali untuk menetap di daerah asal kita. Akan tetapi hanya "singgah" sejenak menikmati ulang suasana rumah, desa, yang dulu pernah ditempati dan dijalani sehari hari sebelum menjadi dewasa dan meninggalkannya untuk memulai hidup baru.
Bisakah mudik dimaknai bukan lagi soal kembali ke tempat kita dulu? bisa saja, sebab peristiwa mudik juga membawa kita kembali pada suasana dan relasi di masa lalu. Mengenang kembali masa kecil dengan sanak saudara, teman sebaya, dan teman sekampung. Kerap juga masa mudik itu dipakai untuk mengulang peristiwa yang dulu sering dijalani. Misalnya, makan bersama dengan semua unsur keluarga, makan bersama di sawah dengan makanan khas desa, bermain bersama di pinggir sungai, dll. Masa mudik menjadi masa kita menikmati kembali apa yang dulu kita jalani.
Berbicara tentang masa mudik ini, saya mengajak kita untuk merenungkan apa hubungan mudik ini dengan yang kita hadapi di gereja saat Covid-19 melanda dunia? Adakah pengalaman yang kita jalani hari ini beribadah di rumah-rumah adalah bagian dari pengalaman umat percaya dulu? Untuk itu mari merenungkan dua ayat berikut ini: (1) Kel. 12: 4 " Tetapi jika rumah tangga itu terlalu kecil jumlahnya untuk mengambil seekor anak domba, maka ia bersama-sama dengan tetanggangya yang terdekat ke rumahnya haruslah mengambil seekor, menurut jumlah jiwa". Ayat ini berbicara tentang teknis pelaksanan Perayaan Paskah di masa PL yang dilakukan perkeluarga atau bersama tetangga kalau keluarga itu terlalu kecil; (2) Kis. 2:46: "mereka memecahkan roti dirumah masing-masing dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati sambil memuji Tuhan". Ayat ini menunjukkan bahwa jemaat mula-mula bertemu, memecahkan roti, dan memuji Tuhan di rumah-rumah. Pdt. Anwar Tjen dalam artikelnya yang berjudul Domba Paskah dan Isolasi 14 Hari Lawan Covid-19? yang juga saya share di WAG kita, tentang dua ayat ini mengatakan bahwa hal ini menunjukkan pengalaman umat Allah dalam penyembahan kepada Allah awalnya dilakukan dirumah-rumah dalam keluarga dan komunitas kecil. Meski konteksnya berbeda, menurut beliau, ada kesejajaran yang menarik untuk disimak bagaimana dulu umat percaya merayakan karya Tuhan dalam hidupnya melalui ibadah keluarga dengan yang kita hadapi kini.
Ditengah masa sulit karena Covid-19 ini kitapun "dipaksa" untuk melakukan ibadah tidak secara berkerumun di gereja tetapi dalam unit yang terbatas bahkan terkecil di rumah masing- masing. Kita diajak kembali pada pengalaman umat percaya di masa awal. beberapa keluarga yang terlalu kecil bergabung dengan tetangga atau kerabat, mengembalikan kita pada pengalaman bangsa Israel merayakan Paskah. Ada pula yang kebaktian berpindah dari dari rumah ke rumah dalam satu keluarga yang lebih besar. Dalam bahasa Batak saompu. Yang saya ketahui misalnya dari foto-foto yang dikirim di WAG Gereja kita adalah Pomparan ompu Labas dan Op. Ramot. Semua itu mengembalikan kita pada pengalaman jemaat mula-mula dalam Perjanjian Baru. Jika jemaat mula-mula ketika bertemu di rumah-rumah memecahkan roti dalam artian melakukan Perjamuan Kudus. Saat ini, kita menikmati itu dengan menghayati makna sosial Perjamuan Kudus memecahkan roti dengan berbagi apa yang ada pada kita kepada sesama yang membutuhkan. Bukankah secara sederhana ini bisa kita lihat dan sebut sebagai masa "mudik" kita? mengalami kembali ibadah di rumah masing-masing dan dalam komutias kecil, baik dengan kerabat maupun dengan para sahabat dalam sukacita tidak dalam keadaan murung.
Orang yang dulunya karean terlalu sibuk dalam pekerjaan tidak pernah ikut beribadah sektor atau minggu, kini kita bersama keluarga baik orang tua sampai bayi, bisa menikmati persekutan dengan Tuhan. Selain itu, relasi sebagai keluarga pun bisa kita tata ulang. Dulu saat semua sibuk bekerja, tidak ada waktu cukup untuk menikmati relasi yang hangat dengan keluarga, kini kita bisa memiliki waktu lebih banyak berkumpul dengan keluarga. Itulah sebabnya, Minggu yang lalu menggapi permintaan warga jemaat dan penatua agar kebaktian Minggu kembali dilaksanakan di gereja, saya meresponsnya dengan menyebut mari kita bersabar dulu. Saya menyadari dan turut merasakan kerinduan itu, akan tetapi belum tiba waktunya. Mari kita menikmati masa "mudik" kita ini dengan segala sesuatu yang ada didalamnya, sambil melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 ini
Akhirnya, apakah anda menikmati masa "mudik" ini dengan sukacita atau justru dengan menggerutu? apakah anda menikmati masa "mudik" ini dengan menata ulang relasi dengan keluarga dan sasama? menata ulang relasi dengan Tuhan secara pribadi dan bersama keluarga? Ingat dan yakinlah jika masa ini adalah masa "mudik"  maka pasti akan ada masa "balik" yang akan membawa kita  kembali pada kondisi normal dimana kita selama ini hidup dan tentu dengan semangat baru dan harapan baru. Kondisi ini tidak akan selamannya kita hanya "singgah" sejenak, menikmati kembali karya Allah yang telah menebus kita dalam unit terkecil yakni keluarga kita. Selamat menikmati masa "mudik" menata relasi dengan kerabat, dan dengan Tuhan serta selamat menanti masa "balik" dalam sukacita dan penuh harapan.
Selamat malam selamat beritirahat dan Tuhan memberkati kita kini dan disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar