MUDIK
(Kel. 12:4; Kis Rasul 2: 46)
Beberapa Minggu
yang lalu ada perdebatan hangat di
tengah masyarakat tentang istilah mudik dan pulang kampung. Bagi sebagian orang
keduanya memiliki arti yang sama, tetapi bagi yang lain keduanya berbeda. Mudik
adalah suatu masa kita kembali untuk sementara ke tempat asal setelah beberapa
lama pergi merantau. Mudik dengan kata lain adalah pulang kampung sementara.
Maka, seperti biasa kita lihat dalam bulan-bulan tertentu, seperti bulan Ramadhan,
masa Natal atau Tahun Baru, arus mudik akan diikuti dengan arus balik, yakni
masa kembali ke tempat hidup sehari hari. Tempat dimana ia mencari nafkah dan
hidup bersama keluarga. Maka masa mudik bukanlah masa di mana kita kembali
untuk menetap di daerah asal kita. Akan tetapi hanya "singgah"
sejenak menikmati ulang suasana rumah, desa, yang dulu pernah ditempati dan dijalani
sehari hari sebelum menjadi dewasa dan meninggalkannya untuk memulai hidup baru.
Bisakah
mudik dimaknai bukan lagi soal kembali ke tempat kita dulu? bisa saja, sebab peristiwa
mudik juga membawa kita kembali pada suasana dan relasi di masa lalu. Mengenang
kembali masa kecil dengan sanak saudara, teman sebaya, dan teman sekampung. Kerap
juga masa mudik itu dipakai untuk mengulang peristiwa yang dulu sering
dijalani. Misalnya, makan bersama dengan semua unsur keluarga, makan bersama di
sawah dengan makanan khas desa, bermain bersama di pinggir sungai, dll. Masa
mudik menjadi masa kita menikmati kembali apa yang dulu kita jalani.
Berbicara tentang
masa mudik ini, saya mengajak kita untuk merenungkan apa hubungan mudik ini
dengan yang kita hadapi di gereja saat Covid-19 melanda dunia? Adakah pengalaman
yang kita jalani hari ini beribadah di rumah-rumah adalah bagian dari
pengalaman umat percaya dulu? Untuk itu mari merenungkan dua ayat berikut ini:
(1) Kel. 12: 4 " Tetapi jika rumah
tangga itu terlalu kecil jumlahnya untuk mengambil seekor anak domba, maka ia
bersama-sama dengan tetanggangya yang terdekat ke rumahnya haruslah mengambil
seekor, menurut jumlah jiwa". Ayat ini berbicara tentang teknis
pelaksanan Perayaan Paskah di masa PL yang dilakukan perkeluarga atau bersama
tetangga kalau keluarga itu terlalu kecil; (2) Kis. 2:46: "mereka
memecahkan roti dirumah masing-masing dan makan bersama-sama dengan gembira dan
dengan tulus hati sambil memuji Tuhan". Ayat ini menunjukkan bahwa jemaat mula-mula bertemu, memecahkan
roti, dan memuji Tuhan di rumah-rumah. Pdt. Anwar Tjen dalam artikelnya yang
berjudul Domba Paskah dan Isolasi 14 Hari
Lawan Covid-19? yang juga saya share di WAG kita, tentang dua ayat ini
mengatakan bahwa hal ini menunjukkan pengalaman umat Allah dalam penyembahan
kepada Allah awalnya dilakukan dirumah-rumah dalam keluarga dan komunitas kecil.
Meski konteksnya berbeda, menurut beliau, ada kesejajaran yang menarik untuk
disimak bagaimana dulu umat percaya merayakan karya Tuhan dalam hidupnya
melalui ibadah keluarga dengan yang kita hadapi kini.
Ditengah
masa sulit karena Covid-19 ini kitapun "dipaksa" untuk melakukan
ibadah tidak secara berkerumun di gereja tetapi dalam unit yang terbatas bahkan
terkecil di rumah masing- masing. Kita diajak kembali pada pengalaman umat
percaya di masa awal. beberapa keluarga yang terlalu kecil bergabung dengan
tetangga atau kerabat, mengembalikan kita pada pengalaman bangsa Israel
merayakan Paskah. Ada pula yang kebaktian berpindah dari dari rumah ke rumah
dalam satu keluarga yang lebih besar. Dalam bahasa Batak saompu. Yang saya ketahui misalnya dari foto-foto yang dikirim di
WAG Gereja kita adalah Pomparan ompu Labas dan Op. Ramot. Semua itu
mengembalikan kita pada pengalaman jemaat mula-mula dalam Perjanjian Baru. Jika
jemaat mula-mula ketika bertemu di rumah-rumah memecahkan roti dalam artian
melakukan Perjamuan Kudus. Saat ini, kita menikmati itu dengan menghayati makna
sosial Perjamuan Kudus memecahkan roti dengan berbagi apa yang ada pada kita
kepada sesama yang membutuhkan. Bukankah secara sederhana ini bisa kita lihat
dan sebut sebagai masa "mudik" kita? mengalami kembali ibadah di
rumah masing-masing dan dalam komutias kecil, baik dengan kerabat maupun dengan
para sahabat dalam sukacita tidak dalam keadaan murung.
Orang yang
dulunya karean terlalu sibuk dalam pekerjaan tidak pernah ikut beribadah sektor
atau minggu, kini kita bersama keluarga baik orang tua sampai bayi, bisa
menikmati persekutan dengan Tuhan. Selain itu, relasi sebagai keluarga pun bisa
kita tata ulang. Dulu saat semua sibuk bekerja, tidak ada waktu cukup untuk
menikmati relasi yang hangat dengan keluarga, kini kita bisa memiliki waktu
lebih banyak berkumpul dengan keluarga. Itulah sebabnya, Minggu yang lalu menggapi
permintaan warga jemaat dan penatua agar kebaktian Minggu kembali dilaksanakan
di gereja, saya meresponsnya dengan menyebut mari kita bersabar dulu. Saya
menyadari dan turut merasakan kerinduan itu, akan tetapi belum tiba waktunya. Mari
kita menikmati masa "mudik" kita ini dengan segala sesuatu yang ada
didalamnya, sambil melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah dan
memutus mata rantai penyebaran Covid-19 ini
Akhirnya,
apakah anda menikmati masa "mudik" ini dengan sukacita atau justru
dengan menggerutu? apakah anda menikmati masa "mudik" ini dengan menata
ulang relasi dengan keluarga dan sasama? menata ulang relasi dengan Tuhan
secara pribadi dan bersama keluarga? Ingat dan yakinlah jika masa ini adalah
masa "mudik" maka pasti akan
ada masa "balik" yang akan membawa kita kembali pada kondisi normal dimana kita selama
ini hidup dan tentu dengan semangat baru dan harapan baru. Kondisi ini tidak
akan selamannya kita hanya "singgah" sejenak, menikmati kembali karya
Allah yang telah menebus kita dalam unit terkecil yakni keluarga kita. Selamat
menikmati masa "mudik" menata relasi dengan kerabat, dan dengan Tuhan
serta selamat menanti masa "balik" dalam sukacita dan penuh harapan.
Selamat malam selamat beritirahat
dan Tuhan memberkati kita kini dan disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar