Kamis, 21 Mei 2020

Kehadiran yang memberi Hidup


Kehadiran yang memberi Hidup
(Yoh. 10:10b)
Hari Sabtu yang lalu, ketika kami bersama beberapa penatua dan warga jemaat mengemas paket program MANARUHON LAHO MANARIHON, terdengar sebuah kisah sederhana sebegai berikut. Suatu malam, seorang ayah menyuruh anaknya untuk menutup pintu gerbang, si anak yang masih duduk di bangku SD mengatakan: ”Belum bisa aku, Pak". Jawaban si anak terdengar biasa saja sebab faktanya memang demikian. Akan tetapi, ungkapan yang sederhana ini membawa sang ayah pada perenungan yang mendalam terkait makna kehadiranya dalam hidup keluarga itu. Ia berguman dalam hati: "Seandainya saya sudah tiada, betapa beratnya keberadaan anaknya. Belum bisa apa-apa, menutup gerbangpun belum bisa". Terkadang memang kita diingatkan betapa berharganya kehadiran dan hidup kita justru melalui hal-hal sederhana. Perenungan sang ayah tadi membawanya pada betapa pentingnya ia menjaga kesehatan dan tetap hidup. Bukan lagi hanya untuk dirinya sendiri tetapi untuk orang sekitarnya, terutama keluarganya.
Berbicara tentang hidup bukan untuk diri sendiri tentu juga bermakna kehidupan yang hadir agar yang lain juga hidup. Untuk itu saya mengajak kita untuk merenungkan kembali ucapan Yesus: ”Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan" (Yoh. 10: 10b). Ayat ini adalah bagian dari pengajaran Yesus yang menyebut diri-Nya sebagai gembala dan orang percaya sebagai domba. Pusat perenungan kita disini adalah ”Aku datang, supaya mereka hidup".  Yesus sebagai gembala yang baik hadir dan hidup di dunia ini agar orang yang percaya dan digembalakan-Nya memperoleh hidup, bukan seperti pencuri yang datang untuk membinasakan. Kehadiran dan kehidupan Yesus bukan untuk dirinya sendiri melainkan agar orang banyak memperoleh hidup. Kata hidup dalam teks ini memakai kata Zoe yang berarti hidup yang kekal, kehidupan sejati, hidup yang terhubung dengan Tuhan. Hidup dalam keselamatan, keamanan, bimbingan dan tuntunan dan kesejahteraan. Kehidupan yang diberikan Yesus terutama adalah kualitas hidup bukan hanya soal kuantitas dan durasi.
Sebagai orang percaya, terutama dimasa sulit karena Covid-19, harusnya kita mengikuti pola kehadiran dan kehidupan Yesus yaitu hidup supaya yang lain memperoleh hidup. Hidup yang berkualitas dan bermakna adalah hidup bukan untuk diri sendiri tapi juga bagi orang lain. Supaya bisa hidup bagi orang lain, kita harus lebih dahulu hidup bersama Kristus. Di dalam Kristus, hidup tidak lagi sekadar asal hidup. Tetapi menjadikan hidup yang dijalani adalah hidup yang bermakna dan sebaliknya dalam kondisi apapun dapat menemukan makna hidup dan kehidupan. 
Terkadang, dimasa sulit seperti saat ini, banyak orang menjadi sangat egois menghidupi imannya. Ada yang berkata misalnya: " kenapa takut korona kalau mau mati kenapa rupanya, mati ya mati aja, toh masuk sorga". Pandangan demikian membuat banyak orang tidak mau mengikuti anjuran untuk mencegah dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dan menjadi masalah bagi orang lain. Selain itu, penelitian hampir di semua negara menunjukkan bahwa tingkat KDRT selama masa pandemi Covid-19 ini meningkat tajam. Tekanan kehidupan dan durasi tinggal bersama di rumah karena beragam pembatasan membuat banyak orang, termasuk orang percaya, melupakan bahwa kehadiran dan hidupnya adalah untuk memberi hidup bukan merampas hidup, sukaita, kedamaian, dan ketenangan orang lain.
Sebagai orang percaya, secara khusus ketika Covid-19 mewabah, menjaga kita tetap hadir dan hidup bagi keluarga sangatlah penting. Melaluinya, kita tidak akan menyerah dan putus asa, tetapi tetap semangat dan optimis bahwa semua kesulitan ini akan dilewati. Melakukan apa yang bisa kita buat sesuai dengan anjuran-anjuran yang berwenang adalah salah satu langkah agar kita bisa tetap hadir dan hidup bagi sesama. Di tengah Covid-19 ini tidak baik hanya berpikir bagaimana supaya aku hidup, tetapi bagaimana supaya aku tetap hidup agar orang lain juga hidup. Paramedis tentu perlu hidup agar para pasien bisa tetap dirawat dan memperoleh kesembuhan dan hidup melewati ganasnya pandemi Covid-19 ini. Dengan demikian hidup ini dihargai sebagai kehidupan bersama, saling menopang dan berusaha hadir bagi sesama dalam setiap gerak langkah kehidupan.
Kembali pada kisah di atas, ungkapan "Seandainya saya sudah tiada, anakku ini belum bisa apa-apa", adalah perenungan yang mendalam tetang arti hidup. Dan oleh karena itu, akan menghantarnya untuk menjaga dan merawat hidupnya sendiri, bukan lagi bagi dirinya, tetapi bagi keluarganya dan orang lain. Hidup dengan demikian bukan hidup yang egois tetapi hidup yang berbela rasa, solider, dan berempati. Hidup akan menjadi begitu sempit dan tidak berarti seandainya semua kerja keras dan hasil dari hidup kita ini hanya sekedar untuk diri kita sendiri. Sebaliknya, hidup yang berarti adalah hidup yang juga bisa disyukuri oleh orang lain yang telah mengecap dan merasakan betapa manis dan berartinya hidup kita bagi orang lain. Baik bagi keluarga maupun di luar keluarga.
Akhirnya, adakah kehadiranmu memberi hidup bagi orang lain? Apakah hari ini anda menyadari betapa bermakna dan pentingnya hidupmu bagi keluargamu? Malam ini, saya mengajak anda untuk menatap wajah anak-anakmu, istri, suami, orangtuamu sambil merenungkan serta menemukan betapa berharganya hidupmu untuk hidup mereka. Ingatlah menjaga tetap hidup demi hidup orang lain adalah nilai kekristenan yang patut kita jalani. Oleh karena itu, di tengah Covid-19 ini, mari menujukkan makna penting kehidupanmu bagi orang lain dan keluarga. Tetaplah hidup bukan hanya untuk diri sendiri tetapi untuk memberi hidup bagi orang lain. Mari melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung keberlangsungan hidup bersama. Jika tidak bisa memberi, paling tidak jangan menambah persoalan. Selamat hidup dan hadir untuk Tuhan dan sesama.
Selamat malam selam at beristirahat dan Tuhan memberkati kita kini dan disini. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar