Kehadiran yang memberi Hidup
(Yoh. 10:10b)
Hari Sabtu yang
lalu, ketika kami bersama beberapa penatua dan warga jemaat mengemas paket
program MANARUHON LAHO MANARIHON, terdengar sebuah kisah sederhana sebegai
berikut. Suatu malam, seorang ayah menyuruh anaknya untuk menutup pintu
gerbang, si anak yang masih duduk di bangku SD mengatakan: ”Belum bisa aku, Pak". Jawaban si
anak terdengar biasa saja sebab faktanya memang demikian. Akan tetapi, ungkapan
yang sederhana ini membawa sang ayah pada perenungan yang mendalam terkait
makna kehadiranya dalam hidup keluarga itu. Ia berguman dalam hati: "Seandainya saya sudah tiada, betapa
beratnya keberadaan anaknya. Belum bisa apa-apa, menutup gerbangpun belum bisa".
Terkadang memang kita diingatkan betapa berharganya kehadiran dan hidup kita
justru melalui hal-hal sederhana. Perenungan sang ayah tadi membawanya pada
betapa pentingnya ia menjaga kesehatan dan tetap hidup. Bukan lagi hanya untuk
dirinya sendiri tetapi untuk orang sekitarnya, terutama keluarganya.
Berbicara
tentang hidup bukan untuk diri sendiri tentu juga bermakna kehidupan yang hadir
agar yang lain juga hidup. Untuk itu saya mengajak kita untuk merenungkan
kembali ucapan Yesus: ”Aku datang, supaya
mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan" (Yoh.
10: 10b). Ayat ini adalah bagian dari pengajaran Yesus yang menyebut diri-Nya
sebagai gembala dan orang percaya sebagai domba. Pusat perenungan kita disini
adalah ”Aku datang, supaya mereka hidup".
Yesus sebagai gembala yang baik
hadir dan hidup di dunia ini agar orang yang percaya dan digembalakan-Nya
memperoleh hidup, bukan seperti pencuri yang datang untuk membinasakan. Kehadiran
dan kehidupan Yesus bukan untuk dirinya sendiri melainkan agar orang banyak
memperoleh hidup. Kata hidup dalam teks ini memakai kata Zoe yang berarti hidup yang kekal, kehidupan sejati, hidup yang
terhubung dengan Tuhan. Hidup dalam keselamatan, keamanan, bimbingan dan tuntunan
dan kesejahteraan. Kehidupan yang diberikan Yesus terutama adalah kualitas
hidup bukan hanya soal kuantitas dan durasi.
Sebagai
orang percaya, terutama dimasa sulit karena Covid-19, harusnya kita mengikuti
pola kehadiran dan kehidupan Yesus yaitu hidup supaya yang lain memperoleh
hidup. Hidup yang berkualitas dan bermakna adalah hidup bukan untuk diri
sendiri tapi juga bagi orang lain. Supaya bisa hidup bagi orang lain, kita
harus lebih dahulu hidup bersama Kristus. Di dalam Kristus, hidup tidak lagi sekadar
asal hidup. Tetapi menjadikan hidup yang dijalani adalah hidup yang bermakna
dan sebaliknya dalam kondisi apapun dapat menemukan makna hidup dan
kehidupan.
Terkadang, dimasa
sulit seperti saat ini, banyak orang menjadi sangat egois menghidupi imannya. Ada
yang berkata misalnya: " kenapa
takut korona kalau mau mati kenapa rupanya, mati ya mati aja, toh masuk sorga".
Pandangan demikian membuat banyak orang tidak mau mengikuti anjuran untuk
mencegah dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dan menjadi masalah bagi
orang lain. Selain itu, penelitian hampir di semua negara menunjukkan bahwa
tingkat KDRT selama masa pandemi Covid-19 ini meningkat tajam. Tekanan
kehidupan dan durasi tinggal bersama di rumah karena beragam pembatasan membuat
banyak orang, termasuk orang percaya, melupakan bahwa kehadiran dan hidupnya adalah
untuk memberi hidup bukan merampas hidup, sukaita, kedamaian, dan ketenangan
orang lain.
Sebagai
orang percaya, secara khusus ketika Covid-19 mewabah, menjaga kita tetap hadir
dan hidup bagi keluarga sangatlah penting. Melaluinya, kita tidak akan menyerah
dan putus asa, tetapi tetap semangat dan optimis bahwa semua kesulitan ini akan
dilewati. Melakukan apa yang bisa kita buat sesuai dengan anjuran-anjuran yang
berwenang adalah salah satu langkah agar kita bisa tetap hadir dan hidup bagi
sesama. Di tengah Covid-19 ini tidak baik hanya berpikir bagaimana supaya aku
hidup, tetapi bagaimana supaya aku tetap hidup agar orang lain juga hidup.
Paramedis tentu perlu hidup agar para pasien bisa tetap dirawat dan memperoleh
kesembuhan dan hidup melewati ganasnya pandemi Covid-19 ini. Dengan demikian
hidup ini dihargai sebagai kehidupan bersama, saling menopang dan berusaha
hadir bagi sesama dalam setiap gerak langkah kehidupan.
Kembali pada
kisah di atas, ungkapan "Seandainya saya
sudah tiada, anakku ini belum bisa apa-apa", adalah perenungan yang
mendalam tetang arti hidup. Dan oleh karena itu, akan menghantarnya untuk
menjaga dan merawat hidupnya sendiri, bukan lagi bagi dirinya, tetapi bagi
keluarganya dan orang lain. Hidup dengan demikian bukan hidup yang egois tetapi
hidup yang berbela rasa, solider, dan berempati. Hidup akan menjadi begitu
sempit dan tidak berarti seandainya semua kerja keras dan hasil dari hidup kita
ini hanya sekedar untuk diri kita sendiri. Sebaliknya, hidup yang berarti
adalah hidup yang juga bisa disyukuri oleh orang lain yang telah mengecap dan
merasakan betapa manis dan berartinya hidup kita bagi orang lain. Baik bagi
keluarga maupun di luar keluarga.
Akhirnya, adakah
kehadiranmu memberi hidup bagi orang lain? Apakah hari ini anda menyadari
betapa bermakna dan pentingnya hidupmu bagi keluargamu? Malam ini, saya
mengajak anda untuk menatap wajah anak-anakmu, istri, suami, orangtuamu sambil
merenungkan serta menemukan betapa berharganya hidupmu untuk hidup mereka. Ingatlah
menjaga tetap hidup demi hidup orang lain adalah nilai kekristenan yang patut
kita jalani. Oleh karena itu, di tengah Covid-19 ini, mari menujukkan makna
penting kehidupanmu bagi orang lain dan keluarga. Tetaplah hidup bukan hanya
untuk diri sendiri tetapi untuk memberi hidup bagi orang lain. Mari melakukan apa
yang bisa kita lakukan untuk mendukung keberlangsungan hidup bersama. Jika
tidak bisa memberi, paling tidak jangan menambah persoalan. Selamat hidup dan
hadir untuk Tuhan dan sesama.
Selamat
malam selam at beristirahat dan Tuhan memberkati kita kini dan disini. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar