Pembawa Tilam Membongkar Atap
Lukas 5: 18-20+24-25
Tidak bisa
kita pungkiri bahwa Covid-19 banyak mengerus kemampuan ekonomi hingga banyak
yang kelimpungan bahkan ada yang "lumpuh". Dua hari lalu, saya
melihat berita seorang bapak harus menjual hp rusak miliknya untuk membeli
beras karena keluarganya kelaparan. Kelumpuhan ekonomi ini, bisa berdampak pada
kelumpuhan semangat, iman dan berakhir dengan kelumpuhan hidup. Memang hal
seperti itu belum terjadi di daerah kita ini, tetapi keluhan demi keluhan akan
sulitnya hidup semakin sering terdengar. Para pedagang baju, ulos, sepatu, dll mengeluh karena tidak
laku. Petani mengeluh karena harga anjlok. Peternak mengeluh, karena babi dan
kerbau tidak laku sebab pesta dan ulaon
saur matua tidak ada. Anak-anak sekolah mengeluh karena tidak semua punya
paket internet, dll. Keluhan-keluhan ini bisa saja akan berujung pada "kelumpuhan" jika tidak diatasi
dengan baik. Paling tidak kelumpuhan semangat dan spiritualitas.
Merenung tentang
kelumpuhan saya mengajak kita untuk belajar dari kisah dalam Alkitab bagaimana
menyikapinya sebagai umat dan komunitas beriman. Saya mengajak kita membaca
Lukas 5: 18-20+24-25 (Mari buka Alkitab anda dan membacanya)
Teks ini
adalah bagian dari kisah orang lumpuh disembuhkan. Ketika Yesus mengajar di
suatu rumah, ada orang banyak berkerumun mendengar Dia. Saking banyaknya, pintu
masuk pun tertutup dengan manusia. Pada sat itu, ada beberapa orang mengusung
seorang lumpuh di atas tempat tidur; mereka berusaha membawa dia masuk dan
meletakkannya dihadapan Yesus (ay. 18). Tapi karena pintu tertutup manusia,
mereka tidak bisa masuk. Dalam imajinasi saya, mereka hampir putus asa. Tetapi
salah satu dari mereka berseru: "kita belum mencoba semuanya". "Kita
belum mencoba atapnya". Meski tidak biasa, usul yang kreatif itu mereka
lakukan. Dengan susah payah para pengusung tilam naik dan membongkar atap. Janganlah kita membanyangkan
bahwa atap itu sama seperti atap kita saat ini. Pada masa itu, atap terdiri
dari lapisan lumpur yang dikeringkan dan mengeras. Mereka menggali, menarik, berkeringat
dan berusaha keras membuat celah yang cukup besar. Saya bisa membanyangkan
betapa jengkelnya orang banyak yang berada di bawah atap itu. Mereka merasa
terganggu bukan hanya dengan suara berisik, tetapi lebih pada debu-debu yang
beterbangan karena atap lumpur itu dibongkar.
Keriuhan dan
penolakan orang banyak itupun tidak menyurutkan para pembawa tilam. Mereka
terus bekerja sampai akhirnya celah itu bisa memasukkan tilam temannya yang
lumpuh. Setelah itu, mereka menurunkan tilam si lumpuh ke tengah-tengah orang
banyak itu tepat di depan Yesus (ay.19). Hasilnya apa? Silumpuh disembuhkan
oleh Tuhan Yesus karena iman dan kerja keras mereka (ay. 20, 24-25). Selain
itu, mereka membawa perubahan besar pada orang banyak yang hadir pada saat itu.
Buah dari iman dan kegigihan mereka adalah kesembuhan si lumpuh dan ketakjuban
orang banyak.
Sungguh
usaha mereka menggambarkan Iman pada Yesus. Iman bahwa hanya Yesus yang bisa
menyembuhkan teman mereka yang lumpuh. Iman mereka itu mewujud dalam cinta yang
besar pada sang lumpuh. Cinta yang tidak membiarkannya berada dalam kelumpuhan
terus menerus. Iman yang mewujud dalam kreatifitas dan kegigigihan yang tidak
mau menyerah meski pintu dan jalan yang satu tertutup. Iman yang mewujud dalam
ketabahan, kerja keras, serta keberanian.
Di tengah
kelumpuhan yang terjadi dan sebelum itu terjadi dibutuhkan iman dan cinta kasih
yang besar diantara umat beriman. Membawa sesama pada Yesus dan kehidupan. Teks
kita mengingatkan bahwa membawa orang pada Yesus adalah usaha membawa orang
pada kesembuhan dan kehidupan. Membawa orang pada Yesus adalah usaha untuk
membuat perubahan dan ketakjuban orang banyak. Dalam kondisi sulit karena covid
ini, ibadah dan iman kita tidak cukup lagi hanya berkutat pada ritus saja
tetapi mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Membawa orang-orang lumpuh secara
ekonomi, lumpuh semangat, dll pada kehidupan!. Saya beberapa kali menyebut ora
et labora: bekerja sambil
berdoa dan Laborare est orare: bekerja
adalah berdoa harus digabung sebagai satu kesatuan dalam gerak kehidpan ini. Sebab membawa sesama pada Tuhan tidak
cukup hanya dalam doa, tetapi juga dalam aksi dan keberanian serta kreativitas
membantu mereka untuk tetap hidup dan memperoleh "kesembuhan" yakni
berjalan kembali dengan kedua kakinya dalam kemandirian.
Beriman
tidak lagi cukup hanya menyelamatkan diri sendiri tetapi peduli dan menoleh
pada sesama. Tidak lagi sibuk dengan urusan diri sendiri baik dalam hal iman
atau perut kita sendiri. Mari melangkah bersama Tuhan mengangkat tilam sesama
kita. Untuk itu dibutuhkan cinta yang besar, kreativitas, kegigihan, ketabahan
dan keberanian untuk bertindak keluar dari pintu pintu yang kelihatannya sudah
tertutup dan menemukan cara yang lain meski itu terlihat bukan ide dan
pemikiran yang biasa. Memang dalam situasi yang serba tidak biasa yang kita
hadapi ini, diperlukan pemikiran dan karya yang tidak biasa.
Dimanakah posisi
kita hari ini? pembawa tilamkah atau
tilam kita yang di bawa? Kiranya
tidak ada diantara kita yang akan "lumpuh"
karena Covid ini. Jika pun ada saya melihat begitu banyak pembawa tilam dan
membongkar atap di jemaat kita ini. Sebagai pembawa tilam hidup kita bisa
bermakna pada diri sendiri, orang lain, dan juga Tuhan. Jika hidup anda sudah "lumpuh" dan "tergeletak di tilam mu", sekali
lagi tetaplah beriman dan berpengharapan bahwa Allah peduli dan akan ada banyak
orang yang mau menganggkat "tilam"
anda. Membawa anda kepada Tuhan dan kehidupan dalam kasih dan kerelaan berkorban.
Sebagai komunitas beriman kita mesti belajar untuk menyakini bahwa kita akan
mendapat pertolongan dari Tuhan melalui saudara-saudara kita. Tetaplah tabah,
Tuhan akan menolong! Amin.
Selamat
malam, selamat beristirahat dan Tuhan memberkati kita kini dan disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar